Mohon tunggu...
Peji Nopeles
Peji Nopeles Mohon Tunggu... Lainnya - Environmental Compliance Specialist

Environtmentalist, Full Time Employee, Master Student of Environmental Science

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pacu Jalur, Nasibmu Kini dan Nanti

4 Januari 2022   23:18 Diperbarui: 4 Januari 2022   23:49 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Jika kita membandingkan dengan negara lain yang maju seperti Jepang, Korea Selatan, China maupun negara lainnya, mereka berpijak erat pada nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal yang ada di daerahnya. 

Tujuh puluh enam (76) tahun sudah negara tercinta ini merdeka seperti ada yang mulai hilang seperti identitas bangsa yang majemuk. 

Identitas yang majemuk ini tentunya tidak terbatas pada ras, agama maupun bahasa tetapi juga buah pemikiran yang diciptakan manusia itu sendiri. 

Bangsa kita dahulu pernah berada pada titik yang memiliki peradaban yang tinggi, sebagaimana nenek moyang kita mampu membangun candi Borobudur yang begitu megah dan masih banyak lagi penciptaan dari intelektual manusia itu sendiri. Jika kita tidak mempertahankan nilai-nilai penting kearifan lokal yang ada, maka perlahan-lahan bahkan lambat laun akan hilang dimakan zaman.

Kalaulah kita tinjau sedikit makna penting dari kearifan lokal akan mencerminkan sebuah bentuk pengetahuan, pemahaman, keyakinan, atau wawasan serta adat istiadat, kebiasaan atau etika yang menuntun manusia untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan. 

Kearifan ini merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak. 

Kita yang berada di Riau daratan ini, tentulah sebagian besar masyarakatnya berada di daerah pesisir laut, maupun berada di pesisir sungai-sungai besar yang ada di Riau. 

Sungai-sungai ini antara lain sungai Kampar, sungai Siak, sungai Kuantan atau Indragiri serta sungai Rokan yang karena keanekaragaman wilayah yang ditinggali juga akan memberikan kearifan lokal yang dianut yang mewakili dari kekhasan daerah tersebut.

Kuantan Singingi jika kita ketahui, merupakan kabupaten yang ada di Riau daratan yang memiliki satu tradisi yang dikenal baik oleh masyarakat setempat mapun dari luar daerah adalah tradisi Pacu Jalur. 

Jika kita telusuri lebih lanjut lagi, tradisi Pacu Jalur sudah dikenal penduduk daerah ini paling kurang tahun 1900 dan dalam tahun itu yang dipacukan penduduk kebanyakan perahu-perahu besar yang biasa digunakan untuk alat transportasi kebutuhan sehari-hari. 

Kegiatan Pacu Jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Batang Kuantan untuk memperingati dan merayakan berbagai hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, memperingati tahun baru Islam dan sebagainya. Pada waktu itu beberapa kampung tidak memberi hadiah bagi jalur yang menang. 

Namun selesai pacu, biasanya diakhiri dengan makan bersama makanan tradisional setempat seperti konji, godok, lopek, paniaram, lida kambiang, buah golek, buah malako, dan lain sebagainya.

Kata "jalur" dalam dialek Melayu Rantau Kuantan sulit dicarikan padanannya secara tepat maknanya dalam Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, penjelasan dalam berbagai Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Dewan dapat membantu memahami kata tersebut, seperti dijelaskan oleh W.J.S. Poewadarminta (1966: 227), jalur adalah barang tipis panjang; sedangkan Sulchan Yasyin (1997: 231) menjelaskan jalur adalah sampan kecil yang dibuat dari sebatang pohon, perahu belongkang; dalam Kamus Dewan (2005: 602) dijelaskan jalur adalah perahu dibuat dari sebatang kayu yang dikorek. 

Penjelasan beberapa kamus di atas sedikit banyaknya dapat menjelaskan dan menggambarkan jalur seperti yang dipahami oleh masyarakat Melayu Kuantan. Dalam dialek masyarakat Kuantan Singingi, Jalur adalah sebuah perahu yang pada awal abad ke-17 digunakan sebagai alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan yang berada di sepanjang Sungai Batang Kuantan. Jalur tersebut terbuat dari sebuah pohon yang besar yang sudah berumur ratusan tahun. Panjang sebuah jalur berkisar antara 25--27 meter dengan muatan bisa diisi antara 40 -- 50 orang, dengan lebar ruang tengah kira-kira 1--1,25 meter.

Sedangkan pacu jalur terdiri dari dua kata, yaitu pacu dan jalur. Pacu adalah perlombaan memacu atau mendayung. Dengan demikian, pacu jalur adalah perlombaan dayung menggunakan jalur tradisional yang menjadi ciri khas daerah Kuantan Singingi (Kuansing) yang sampai sekarang masih bertahan. Lomba dayung (Pacu Jalur) diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan juga menggunakan upacara adat khas daerah Kuansing (Hasbullah, 2015).

Dalam kehidupan sosial masyarakat Kuantan, Jalur merupakan wujud kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi masyarakat Rantau Kuantan dimana jalur memiliki makna tersendiri bahwa tidak sempurna suatu kampung jika warganya tidak mempunyai jalur. Jalur merupakan hasil karya budaya yang memiliki nilai estetik tersendiri, dan juga mencakup kreativitas dan imaginasi. 

Hal ini terlihat dengan jelas dari beberapa seni budaya yang terdapat di jalur, seperti seni ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jalur merupakan upaya masyarakat Rantau Kuantan masa lalu untuk memenuhi kebutuhan manusia akan rasa indah, dan sekaligus sebagai penikmat keindahan tersebut (Hasbullah, 2015).

Pada umumnya saat ini, hampir seluruh kampung yang ada di Batang Kuantan memiliki jlaur maupun yang di luar dari Batang Kuantan. 

Mempunyai jalur merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya terutama apabila jalurnya memilik prestasi. Maka tidak heran jika disetiap pelaksanaan even pacu jalur pemandangan yang membuat terharu akan kecintaan dan fanatisme terhadap jalur yang mereka miliki. 

Kita akan melihat sorak sorai kegembiraan maupun ratapan air mata dari pendukung jalur di tepian Batang Kuantan. Dibalik semua itu, bahwa ternyata untuk membuat satu jalur memerlukan biaya yang cukup besar, mulai dari mencari kayu, maelo, membuat jalur, melayur, latihan anak pacu, dan ikut perlombaan. Ke semua tahapan tersebut membutuhkan dana yang harus dibayar oleh pengurus jalur. Keseluruhan biaya tersebut didapatkan dari sponsor dan juga sumbangan warga masyarakat, baik yang ada di kampung maupun di rantau.

Dalam memeperlombakan jalur ini, tentunya jalur yang terbuat dari kayu akan mengalami masa pakainya berakhir akibat pelapukan dari kayunya sendiri maupun kerusakan-kerusakan yang menyebabkan jalur tidak dapat diperlombakan lagi seperti patah, bocor dan lain sebagainya. 

Dengan demikian, mengharuskan jalur harus dilakukan penggantian dengan jalur yang baru lagi. Untuk menghasilkan satu jalur yang besar, tentunya membutuhkan kayu dengan diamater yang besar dan tinggi. Artinya kayu yang digunakan merupakan kayu yang sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun dan itu saat ini sudah sulit untuk dicari. 

Kondisi hutan Kuantan Singingi ataupun Riau sudah tidak sama lagi dengan yang dulu, di mana kayu untuk jalur saat itu dengan mudah dapat dicari. Tidak kita pungkiri bahwa konversi hutan alam menjadi perkebunan industri bahwa perkebunan kelapa sawit menyebabkan berkurangnya ketersediaan hutan alami yang mampu menyediakan ketersediaan kayu untuk pembuatan kayu. Dan ini diharapkan jadi perhatian yang serius bagi pemerintah Kuantan Singingi maupun Riau untuk keberlanjutan tradisi Pacu Jalur jati diri kearifan lokal masyarakat di Batang Kuantan.

Jika kita lihat secara statistik peserta pacu jalur yang berpartisipasi di festival Pacu Jalur di tahun 2016 sebanyak 198 jalur, tahun 2017 sebanyak 193 jalur, kemudian di tahun 2018 berkurang menjadi 181 jalur dan terakhir tahun 2019 sebelum terjadi pandemi sebanyak 175 jalur. Artinya ada penurunan yang signifikan dari jumlah jalur yang berpartisipasi setiap tahunnya, dan tentunya ini juga ada kontribusi dari tidak bisa ikutnya jalur akibat dimakan usia sehingga tidak bisa digunakan lagi. 

Atas keprihatinan ini dalam mempertahankan tradisi Pacu Jalur, tentunya diperlukan solusi yang tepat supaya tradisi ini tidak serta merta hilang bahkan mungkin hanya akan dikenal dalam buku-buku sejarah saja. 

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antar lain penegakan aturan larangan terhadap perorangan atau badan usaha yang memanfaatkan kayu diameter besar, meningkatkan hutan adat dalam upaya kearifan lokal untuk konservasi kayu-kayu yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan jalur, meningkatkan area hutan konservasi sebagai area berumbuhnya kayu-kayu untuk jalur atau bahkan penghentian pemberian izin penggunaan hutan (HGU) dan penegakan hukum bagi pelanggar penebangan kayu diameter besar untuk pemanfaatan perorangan atau badan usaha. 

Sehingga, upaya-upaya ini dapat dijadikan sebagian tindakan yang kongkrit dengan harapan bahwa kesulitan dalam hal mendapatkan kayu untuk pembuatan jalur dapat dicegah. Hal ini tentunya sangat diharapkan supaya tradisi Pacu Jalur ini dapat lestari dan dapat terus dilihat oleh anak cucu kita khususnya masyarakat Kuantan Singingi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun