Namun di sisi lain, hal itu jadi ironi Politik Keislaman Prabowo diantara masifnya dukungan kekuatan politik bercirikan Islam kepada Prabowo sendiri.
Harus diakui, Prabowo sangat lihai berpolitik. Dengan latar belakang keluarga besarnya yang non-muslim, dia bisa menggaet kekuatan politik Islam di negeri ini untuk mendukung dirinya pada Pilpres 2019.
Di negara Indonesia, urusan agama merupakan sesuatu yang sensitif dan maha penting, terutama soal status agama si Tokoh untuk menjadi pemimpin daerah atau pemimpin negara. Secara undang-undang atau peraturan, siapa pun putra terbaik bangsa tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan berhak untuk menjadi Presiden RI.
Namun dalam realitasnya ada semacam pandangan atau kesepakatan tidak tertulis di dalam sebagian masyarakat luas bahwa Presiden RI "harus" seorang yang beragama Islam. Dengan jumlah penduduk Indonesia beragama Islam mencapai 80 persen lebih, maka "kesepakatan tidak tertulis" itu merupakan realitas politik dan demokrasi yang wajar.
Pun di kalangan non-muslim, realitas tersebut bisa diterima. Terbukti tidak adanya gejolak politik besar yang mempertentangkan peraturan dengan realitas dalam masyarakat.
Kelihaian "Politik Prabowo" menggunakan hegemoni keislaman dalam masyarakat Indonesia dalam perpolitikannya mampu menutupi realitas dirinya yang berlatar belakang keluarga non muslim.
Sebagai mantan tentara yang sudah berpengalaman dalam pertempuran, Prabowo tentu paham fungsi pragmatis dan  filosofi senjata. Senjata bisa untuk melumpuhkan keluatan lawan, namun disi lain bisa juga melumpuhkan si pemegang senjata itu sendiri.
Pertama, ketika senjata itu diserbut lawan. Kedua ketika lawan memiliki senjata yang sejenis dan pengetahuan tentang pemanfaatannya secara lebih baik. Ketiga, ketika pemegang senjata mengalami blunder internal dan halusinasi sehingga menembak atau melukai diri sendiri padahal tadinya mau melumpuhkan lawan.
Pada posisi manakah filosofi senjata Prabowo ketika muncul pertanyaan publik #Prabowo Salat Jum'at Dimana"? Publik tentu bisa menjawabnya secara relatif.
Fenomena keislaman Prabowo telah memunculkan aksi dan reaksi dari politik keislaman yang mengobok-obok emosi rakyat, menguras energi dan waktu publik di tengah realitas Indonesia yang prular, dan relatifnya interpretasi teks kitab suci terhadap aksi politik yang didominasi kepentingan duniawi para elit politiknya.