"Kalau ada yang bilang bagi-bagi sertifikat enggak ada gunanya, ya silakan ngomong seperti itu, tetapi tetap program ini akan kita lanjutkan". (Jokowi, Â kompas.com 22/02/2019).
Jokowi lebih memfokuskan legalitas kepemilikan tanah untuk rakyat kecil yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di wilayah pedalaman, kampung, perdesaan maupun perkotaan. Baik itu lahan pribadi, adat, Â dan wakaf. Tujuannya agar tanah itu menjadi bekal dasar rakyat untuk membangun ekonomi dan kesejahteraan keluarganya tanpa kuatir "tergusur paksa" atau "dirampas" kekuasaan secara sewenang-wenang tanpa ganti rugi yang pantas.
Dengan adanya sertifikat tanah itu, posisi rakyat menjadi kuat dimata hukum. Diharapkan ke depannya tidak ada lagi konflik tanah antara sesama warga, Â antar suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, antar masyarakat dengan pengusaha, maupun antar masyarakat dengan pemerintah. Â
Langkah Jokowi dalam reforma agraria atau pertanahan ini merupakan suatu bentuk patriotisme dan nasionalisme yang sesungguhnya. Jokowi lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya untuk memiliki hak secara legal dan nantinya bisa menjadikan rakyat memiliki kemandirian ekonomi.
Bandingkan dengan konsep berpikir Prabowo menguasai banyak tanah karena "daripada dikuasai asing lebih baik dia yang mengusai". Nasionalisme dan patriotismenya semasa ditempa di dunia militer menjadi rancu, tidak jelas antara kepentingan pribadi dengan kepentingan rakyat secara lebih luas.
Soal nasionalisme dan patriotisme terkait lahan tersebut, bisa jadi dalam hati Prabowo menemukan idealismenya pada diri Jokowi yang melakukan reforma agraria secara nyata untuk rakyat.Â
Sementara hal tersebut tidak bisa Prabowo lakukan sepenuhnya karena "disandera" setting dirinya sendiri berupa sejarah panjang bersama rezim Orde Baru, ikatan keluarga besar cendana, dan para kerabatnya. Sehingga tercetuslah patriotisme dan nasionalisme yang rancu dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Mungkin ini sudah menjadi garis tangan hidupnya. Prabowo diuntungkan keadaan masa lalu ketika menjadi bagian keluarga presiden Soeharto, dukungan iklim politik era Orde Baru, serta regulasi dan lain-lainnya pada masa lalu sehingga dia bisa menguasai lahan yang luas. Â Â
Sejatinya, semua itu menjadikan Prabowo harus sudah selesai dengan dirinya, untuk kemudian balik berpihak kepada rakyat. Bukan hanya sebatas retorika belaka. Namun pengaruh "sandera" Orde Baru tersebut begitu kuat sehingga dia tak mampu melawan, dan tak bisa melepaskan diri.
Berbagai narasi yang pernah dia lontarkan ke ruang publik berkebalikan dengan latara belakang atau kondisi riil setting dirinya yang sedang ingin memperkuat ikatan jejaring lamanya--dengan mengatasnamakan kebangsaan, demi negara, tanah air, kemandirian bangsa, Â patriotisme, nasionalisme dan diksi-diksi heroik lainnya.
Debat Capres kedua yang "sakral" menjadi puncaknya, saat banyak mata rakyat Indonesia menyaksikan Prabowo tergagap di momentum wacana penguasaan lahan yang luas atas nama nasionalisme dan patriotisme.