Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) itu, maka kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran kemudian dilakukan, khususnya di luar pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Irian Jaya (Papua), dan Maluku. Konsesi diberikan kepada pemilik modal swasta asing, swasta dalam negeri dan perusahaan negara BUMN.
Marjinalisasi Masyarakat Adat di Sekitar Lahan
Menurut Singarimbun (1994 : 58) setelah Undang-Undang Pokok Kehutanan 1967 itu terjadi timber boom dengan mengeksploitasi hutan secara besar-besaran. Di dalam proses itu banyak petani peladang kehilangan hak tradisionalnya atas sumber daya alam. Masuknya HPH membuat ekosistem hutan menjadi rusak sehingga mengganggu fungsi-fungsi penting yang berperan dalam kehidupan mereka.
Masyarakat yang tadinya memiliki hutan atau lahan secara adat dan turun temurun  tidak bisa menolak kehadiran HPH karena secara hukum posisi mereka lemah.  Undang-Undang Agraria 1960 hanya mengakui hukum, hak dan lembaga adat jika pengakuan tersebut "tidak menghambat pembangunan". Pemerintah memandang masyarakat adat punya hak dalam pembangunan tapi tidak memiliki hak terhadap Sumber Daya Alam (SDA) mereka.Â
Pada masa itu itu inpretasi Undang-Undang hanya milik pemerintah (Orde Baru), sedangkan rakyat seringkali menjadi pihak yang tak berdaya dihadapan para elit rezim Orde Baru yang bertameng undang-undang. Dengan UUD'45, UU Kehutanan, PP Kehutanan dan UU Agraria itu, para elit rezim Orde Baru leluasa menguasai lahan rakyat dengan memberikan konsesi kepada orang-orang (teman-teman) yang berani mengolahnya. Tentu saja ada simbiosis mutualis, baik secara kelembagaan resmi sesuai aturan maupun secara pribadi di luar aturan resmi.
Lingkaran Dekat Rezim Soeharto Mengusai Lahan
Dalam perjalanan waktu, Soeharto yang pada awalnya penuh idealisme mensejahterakan rakyat banyak di seluruh Indonesia secara adil dan merata kemudian mulai redup oleh realitas politiknya sendiri. Ketika anak-anaknya mulai tumbuh dewasa dan "berusaha mencari makan sendiri". Ketika keluarga besar dan teman-teman dekat (para jenderal) yang berjasa dalam mendukung kekuasaannya ingin ikut "membangun negara".
Tapi Soeharto bukan Jokowi yang "tega" membiarkan anak-anaknya menjadi penjual pisang dan martabak. Soeharto adalah bapak yang welas asih pada anak-anak dan menantunya. Juga kepada kerabat dekat dan para jenderal seperjuangannya. Terlebih dengan eksistensi Ibu Tien yang merupakan keturunan ningrat. Mana tega membiarkan anak-anak menjadi penjual pisang goreng dan martabak. Apak kata dunia? Anak presiden dan ningrat kok jualan martabak dan pisang goreng? Tidak keren, aah!
Politik Era Orde baru yang dijalankan Soeharto di satu sisi sangat diskriminatif kepada warga keturunan (istilah jaman itu "nonpri" atau nonpribumi), namun di sisi lain khususnya pada bidang ekonomi, mereka diberikan ruang gerak yang luas  dan keistimewaan.
Mereka merupakan kaum petarung ekonomi yang handal. Punya etos kerja tinggi dibandingkan umumnya kaum pribumi. Mereka berani rugi diawal. Berani mengambil resiko. Mampu menghidupkan ekonomi regional sehingga pembangunan negara menjadi terlihat dengan kasat mata. Semua itu dibutuhkan Soeharto sebagai bukti keberhasilan pembangunan kepada rakyat. Di sisi lain, bukti itu berperan sebagai simbol keberhasilan dirinya.
Perkembangan realitas politik kemudian menuntut Soeharto "berlaku adil" dalam bidang ekonomi, demi keberlangsungan hasrat kekuasaan itu sendiri. Muncul ketimpangan yang kasat mata tentang pelaku ekonomi berskala besar (konglomerasi). Ini tidak elok dipandang mata rakyat. Jangan sampai yang mendampingi Soeharto pada acara-acara di peternakan Tapos yang terliput media adalah para konglomerat nopribumi saja. Harus berimbang dengan pengusaha pribumi.