Berdasarkan hal itu, diperlukan jembatan penghubung sebagai dasar tercapainya tujuan lewat interaksi yang optimal. Jembatan itu adalah BAHASA. Bayangkan bila saya pakar ilmu teknik namun tidak tidak bisa membahasakan ilmu saya secara baik lewat lisan maupun tulisan, apa yang terjadi? Akibatnya, ilmu teknik saya bisa salah diartikan orang lain, terjadi kesalahpahaman, transfer ilmu jadi terhambat bahkan menyesatkan, dan lain sebagainya.
Banyak siswa atau mahasiswa pintar bidang teknis, tapi tak mampu mengungkapkannya secara lisan dan tulisan. Akhirnya apa yang mereka kuasai tidak bisa dipahami orang lain. Transfer ilmu pun jadi terhambat.
Saat membimbing mahasiswa menulis skripsi atau tugas akhir yang kerap saya temui masalahnya bukan pada pengumpulan dan pengolahan data serta perhitungan matematis, melainkan pada cara mengungkapkan secara tertulis dan lisan apa yang mereka sudah kerjakan di lapangan, studio, dan laboratorium. Bahasa Indonesia lisan dan tulisannya 'kacau' karena tak sesuai kaidah dan tidak mudah dipahami. Hal serupa juga masih terjadi pada mahasiswa tingkat Doktoral (Strata 3). Saya berlatar belakang ilmu teknik pernah merasakan hal itu. Saat 'kolokium' rekan-rekan satu angkatan diharuskan membaca buku-buku teori bahasa Indonesia yang sempat bikin ciut hati karena terdeteksi tata bahasa Indonesia penulisan makalah yang 'kacau'. Heu heu heu..
Bahasa Indonesia tetap penting dan layak dijadikan kriteria utama penilaian di antara beragam disiplin ilmu. Jangan sepelekan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tanpa penguasaan Bahasa Indonesia Anda tidak bisa melewati 'jembatan' suatu ilmu ke ilmu lainnya. Lebih dari itu, Anda tidak bisa membaginya ke 'Muara Segala Ilmu', yakni KEHIDUPAN. Kalau sudah begitu, untuk apa jadi pinter?
Tje Lee Goek!
-------Â
Pebrianov17/07/2016