Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bu, Jangan Remehkan Pelajaran Bahasa Indonesia

16 Juli 2016   11:12 Diperbarui: 16 Juli 2016   17:18 2002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; https://mauritaldrein.files.wordpress.com/2012/12/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.gif"][/caption]Tiga hari ini saya dibuat deg-degan karena mengurus pendaftaran anak masuk SMA negeri kemudian memantau pergerakan ranking nilai (setiap 2 jam) dari para pesaingnya. Untunglah akhirnya anak saya bisa lolos di sekolah negeri favorit. Enaknya jaman sekarang proses pendaftaran dan seleksi secara online. Jadi, setelah memasukkan berkas di sekolah pilihan, kita tinggal memantau di rumah secara online.

Pengalaman Unik saat Antre

Ada satu pengalaman unik saat antre pengambilan bukti pendaftaran online. Pendaftar hari pertama sangat banyak, maka hari itu hanya bisa verifikasi kelengkapan syarat dan memasukkan berkas yang dibatasi hingga pukul 12.00. Setelah itu, loket tutup, dan ranking peserta sudah bisa diakses online 3 jam kemudian di rumah masing-masing.

Sementara untuk pengambilan print out bukti pendaftaran harus dilakukan esok harinya. Demikian seterusnya, bila esok baru masukkan kelengkapan dan verifikasi, lusa baru menerima print out bukti pendaftaran.

Esok harinya saya antre lagi untuk mengambil print out bukti pendaftaran. Sambil mengantre, para orang tua beserta anak mereka memantau pergerakan ranking sementara para pesaing lewat smartphone atau tab mereka. Inilah serunya, setiap orang sibuk online dengan peralatannya.

Saat antre, ada beberapa orang ibu berkumpul sembari menunggu panggilan masuk ke barisan antrean loket pengambilan bukti pendaftaran. Saya kebetulan berdiri dekat mereka yang asik terlibat pembicaraan cukup seru perihal nilai Bahasa Indonesia.

"Saya heran, anak saya rankingnya tadi pagi melorot beberapa kali di bawah nilai anak lain yang nilainya sama dengan anak saya," kata Ibu A

"Iyaa, bu... ranking anak saya juga bergeser oleh anak lain yang nilainya sama dengan anak saya. Jangan-jangan ini ada permainan," kata Ibu B.

Seorang bapak-orang tua murid yang kebetulan berada di dekat mereka ikut bicara. "Bu, coba lihat di dalam salah satu aturan dan kriteria seleksi."

Kriteria mensyaratkan bila nilai total Ujian Nasional pada batas maksimum maka urutan rangking didasarkan pada;
1. Urutan prioritas pilihan sekolah.
2. Melihat perbandingan nilai Ujian Nasional setiap mata pelajaran yang lebih tinggi dengan urutan: Bahasa Indonesia, Matematika, IPA (Sains), Bahasa Inggris.

Setelah membaca laman itu, kontan saja mengundang reaksi seru dari para ibu-ibu itu. 

"Haah? Kenapa Bahasa Indonesia yang jadi kriteria pertama?" kata ibu A.

"Iya ya, aneh nih aturan pemerintah,... ini kan jaman perkembangan teknologi harusnya mata pelajaran Matematika dan Sains yang jadi kriteri pertama," kata ibu B.

"Dari jaman kita sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia, yaa... gitu-gitu aja.... gak ada pentingnya... semua orang juga Matematika dan IPA selalu up to date. Kiita aja sekarang keteteran dampingi anak belajar Matematika dan IPA. Jauh banget sulitnya sekarang dibanding jaman kita dulu. Liat pelajaran aja materi pelajarannya, bikin mules, Bu...."

Si Bapak tadi tampak kaget denga reaksi ketiga Ibu tadi. "Wah, saya juga ndak tau alasan pemerintah, Bu... kali aja karena pelajaran Bahasa Indonesia itu asli milik bangsa sendiri."

"Waah, ndak bisa gitu dong, Pak. Matematika dan IPA itu kan tuntutan jaman sekarang, biar kita bisa bersaing dengan negara lain," Kata Ibu C

"Iya, Pak... Matematika dan IPA itu kunci kalau kita ingin jadi negara maju," kata Ibu B.

Si Bapak itu cuma tersenyum kemudian diam. Tampak dia tak berminat ikut pembicaraan itu. Tangannya diangkat ke atas menandakan tidak tahu pasti atau malas debat dengan ibu-ibu yang nampak 'emosi bin heboh'. Terungkap hasil Ujian Nasional anak Ibu A dan B mendapat nilai lebih rendah dibandingkan nilai Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris.

Saya perhatikan ketiga ibu tersebut makin seru membicarakan 'perkara' nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka masih tidak puas dengan penempatan kriteria itu. Sebenarnya saat itu saya 'gatel' ingin nimbrung ngobrol. Tapi dengan gaya dan riuhnya mereka bicara, saya pun jadi 'minder' dan urung nimbrung. Ada kekhawatiran bahasa tubuh saya tidak 'pas' dengan mereka. Bisa rusak susu sebelanga, bukan? Aaghh... andai saja saya ke sekolah itu pakai rok, bra, dan bergincu tentu bakal lain ceritanya..... heu heu heu!

Bahasa Indonesia Tidak Penting?

Ada anggapan di sebagian masyarakat awam bahwa pelajaran Bahasa Indonesia kurang penting. Ilmu eksak lebih penting dan layak karena jadi barometer dunia ilmu masa kini.

Saya tidak ingin memperbandingkan satu bidang ilmu tertentu lebih hebat dibandingkan ilmu lainnya. Setiap bidang ilmu memiliki tujuan dan fungsi masing-masing bagi kehidupan. Antarbidang ilmu itu saling melengkapi untuk pencapaian tujuannya. Porsi peran masing-masing ilmu berbeda, menyesuaikan konteks masalah dan permasalahan yang ingin diurai atau dicari solusinya.

Berdasarkan hal itu, diperlukan jembatan penghubung sebagai dasar tercapainya tujuan lewat interaksi yang optimal. Jembatan itu adalah BAHASA. Bayangkan bila saya pakar ilmu teknik namun tidak tidak bisa membahasakan ilmu saya secara baik lewat lisan maupun tulisan, apa yang terjadi? Akibatnya, ilmu teknik saya bisa salah diartikan orang lain, terjadi kesalahpahaman, transfer ilmu jadi terhambat bahkan menyesatkan, dan lain sebagainya.

Banyak siswa atau mahasiswa pintar bidang teknis, tapi tak mampu mengungkapkannya secara lisan dan tulisan. Akhirnya apa yang mereka kuasai tidak bisa dipahami orang lain. Transfer ilmu pun jadi terhambat.

Saat membimbing mahasiswa menulis skripsi atau tugas akhir yang kerap saya temui masalahnya bukan pada pengumpulan dan pengolahan data serta perhitungan matematis, melainkan pada cara mengungkapkan secara tertulis dan lisan apa yang mereka sudah kerjakan di lapangan, studio, dan laboratorium. Bahasa Indonesia lisan dan tulisannya 'kacau' karena tak sesuai kaidah dan tidak mudah dipahami. Hal serupa juga masih terjadi pada mahasiswa tingkat Doktoral (Strata 3). Saya berlatar belakang ilmu teknik pernah merasakan hal itu. Saat 'kolokium' rekan-rekan satu angkatan diharuskan membaca buku-buku teori bahasa Indonesia yang sempat bikin ciut hati karena terdeteksi tata bahasa Indonesia penulisan makalah yang 'kacau'. Heu heu heu..

Bahasa Indonesia tetap penting dan layak dijadikan kriteria utama penilaian di antara beragam disiplin ilmu. Jangan sepelekan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tanpa penguasaan Bahasa Indonesia Anda tidak bisa melewati 'jembatan' suatu ilmu ke ilmu lainnya. Lebih dari itu, Anda tidak bisa membaginya ke 'Muara Segala Ilmu', yakni KEHIDUPAN. Kalau sudah begitu, untuk apa jadi pinter?

Tje Lee Goek!

------- 

Pebrianov17/07/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun