"Maksud kamu apa, Su? "
"Prof, realitas politik bukan semata hal yang tampak berlenggang di depan mata. Antara hati mulut dan logika tidak harus berjalan seiring. Masing-masing punya agenda yang tak bisa diketahui siapapun."
"Oh, begitu? Trus ? "
Surat tak langsung menjawab. Tubuh bidangnya tiba-tiba terlihat agak dilengkungkan mengarah ke bangku depan pojok sebelah kanan. Aku tak tahu apalah ia sedang lelah, berpikir atau enggan menjawab.
Pandanganku mengikuti arah lengkungan itu. Tampak dibangku pojok itu seorang gadis cantik bergaya remaja masa kini, pakaiannya modis, kulit sawo terang, dengan rambut lurus. Dia asik dengan gadgetnya sambil senyum-senyum sendiri. Mungkin sedang berinteraksi online dengan kawan-kawannya lewat medsos.
Terdengar suara Surat, agak serak. Seperti menahan perasaan galau.
"Aku sebenarnya sedang kesal dengan Ayahku. Aku tahu siapa ayahku, tapi aku pun tahu orang itu tidak akan pernah mengakui diriku karena akn membuat Aib baginya. Ibuku bernama bu Writer binti Sekjen, dia yang mengatakannya padaku."
"Aku tak paham maksudmu, Su? "
"Bukalah mata, hati dan logikamu, Prof! Masak kau tak paham semua ini!! "
Nada bicara Surat meninggi. Aku sempat kaget. Tapi aku coba memahami situasinya.
Mendadak kami terdiam. Aku tak mau membela diri atas kemarahannya.
Lengkungan tubuh Surat tetap mengarah ke Gadis itu. Untuk menjaga suasana, aku tidak bicara walau ada yang ingin aku tanyakan lebih jauh. Biarlah jadi tenang dulu. Aku dan Surat tetap duduk dan hanya bermain dengan pikiran masing-masing. Sampailah terdengar panggilan untuk masuk pesawat.