Akhirnya kepala desa, kepala dusun dan sejumlah warga yang tanahnya dibuka berbesar hati. Proyek tetap berjalan dilahan mereka. Nanti pihak kelompok tani tersebut akan ikut mengelolanya. Soal pembagian hasil akan dibicarakan kemudian.
Berdasarkan pengalaman saya hidup setahun lebih dengan masyarakat Dayak di pedalaman, ada beberapa hal yang bisa disampaikan.
Pertama : Program pencetakan sawah ini sudah baik. Pemerintah pusat mengeluarkan pembiayaan alat berat guna membuka lahan tidur milik warga, bibit, dan bimbingan teknis penanaman. Sementara hasil diserahkan kepada masyarakat setempat.Â
Namun yang saya lihat di dusun tersebut, programnya hanya cetak sawah lahan basah. Sementara sebagian besar warga pedalaman punya budaya berladang, yakni menanam padi di lahan tinggi dan kering. Selama ini hanya mengandalkan curah hujan saja.
Dari ngobrol-ngobrol di sana tidak ada (belum ada?) program untuk ladang. Ketika cetak lahan basah (dataran rendah) dilakukan, apakah warga yang hanya punya lahan di dataran tinggi jadi penonton saja? Mereka memang bisa saja ikut kerja dikelompok tani lahan basah, namun sebaiknya program pembukaan sawah juga dinarengi pembukaan ladang dan pembinaan tersendiri.
Masyarakat Dayak di pedalaman memiliki budaya berladang yang sudah turun temurun. Nilai (value) sebuah ladang bagi masyarakat Dayak ‘lebih besar’ dari sawah. Berladang bagi mereka bukan cuma sekedar mendapatkan padi namun memiliki dimensi budaya.Â
Di dalam dimensi berladang ada ritual budaya, penghormatan kepada leluhur, kepada tanah dan alam lingkungannya, menjalin kebersamaan dalam adat, dan lain sebagainya. Dimensi itu sebagai identitas diri sebagai Dayak. Ada jargon mereka yakni : “Kalau tidak berladang itu bukan orang Dayak.
Di dusun tersebut, suatu keluarga biarpun secara ekonomi sudah mapan, misalnya pekerjaan utamanya di sektor formal seperti menjadi pegawai negeri, guru, berdagang atau jadi staf di perusahaan perkebunan sawit, mereka tetap mengusahakan membuka ladang walau tidak luas. Bisa jadi kontribusi ekonomi ladang itu tidak besar, namun mereka tetap mengupayakan ada ladang untuk menjaga tradisi, sekaligus identas ke-Dayak-annya.
Ketiga,perlunya kontrol intensif pada proses sosialisasi di masyarakat setempat agar benar-benar paham arah dan tujuan pelaksanaan proyek serta kegunaan bagi mereka. Kesimpangsiuran informasi kebijakan bisa menyebabkan potensi konflik di dalam masyarakat itu sendiri. Beruntunglah pada mis-komunikasi di masyarakat Dayak Dessa masih bisa dilakukan dengan pendekatan Adat.