Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Admin Kompasiana Terpleset, Karena Dapat Tekanan Pihak Tertentu?

9 April 2016   15:28 Diperbarui: 9 April 2016   15:46 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Ahok dan Yusril. Sumber : Tribunnews.com dalam : http://m.kompasiana.com/kompasiana/ahoktaklayakjadigubernur-suara-netizen-menolak-ahok_5707820560afbd0712476a83"][/caption]

Sesuai janji saya tidak akan lagi menulis tentang Ahok, maka Saya merencanakan konsisten tidak menulis Ahok walau hanya berupa sepatah kata atau nama. Lho, itu ada tertulis 'Ahok'? Gimana sih? Yaaa, itu kan bukan saya yang nulis, tapi keyboard hp Saya ! Paham?

Karena Saya tak lagi nulis Ahok, maka Saya cari-cari bahan tulisan lain sambil menjaga terong Saya yang sedang membesar jangan sampai ditowel-towel orang. Akhirnya ketemu juga, yakni tentang Admin Kompasiana !

Sebenarnya Saya jarang menulis tentang Admin Kompasiana. Bukan apa-apa...ini hanya masalah strategi politik saja. Saya sebagai Bakal Calon Admin tahun 2222 mesti berbaik-baik dengan Petahana Admin. Saya tidak ingin mereka mencekal Saya sehingga jalur Saya menjual diri jadi terhambat oleh preseden Kalijodo dibubarkan dan M. Sanusi ditangkap KPK.

Kali ini Saya menulis tentang Admin, demi kemaslahatan keluarga besar Kompasiana. Biarlah saya pasang badan menghadapi cibiran. Biarlah strategi pribadi tergadaikan. Siapa tahu saya kelak jadi pahlawan diantara Kompasianer. Paling sial, saya bisa jadi Legenda dalam warna tertentu.

Saya tak perduli " Boleh atau Tidak Boleh. Suka atau Benci. Maju atau Mundur. Keluar atau Masuk. Atas atau Bawah. Sudah Licin atau Masih Keset." Semua itu tak menggoyahkan niat menuntaskan hasrat menulis yang sudah sampai ke ubun-ubun. Bukankah hasrat adalah Tuan primitif paling kuat berkuasa atas logika? Di dalam sangkarut Hasrat itulah Logika kelak bisa belajar menyatakan dirinya. Betul, tidak?

Hal yang saya tulis adalah soal artikel Admin Kompasiana berjudul ; "#AhokTakLayakJadiGubernur, Suara Netizen Menolak Ahok" (sumber link)

Artikel itu cukup mengusik pikiran dan mencelalak mata ditengah banyak kejutan politik kontemporer negeri ini. Bukan karena judulnya 'Anti Ahok', melainkan karena Penulisnya adalah Admin Kompasiana si Tuan Rumah Blog kroyokan ini.

Sependek yang Saya pahami, fungsi admin adalah sebagai Orang Tua (bijak) di dalam kerumunan anaknya yang memiliki ragam karakter. Anak-anaknya itu adalah para Kompasianer.

Tugas dan takdir Orang Tua menyediakan segala kebutuhan anak-anaknya untuk bertumbuh, mewarna, dan bersinar di masing-masing cekuk. Tak perduli letak dan ukuran cekuk itu seperti apa, karena bagi Admin Kompasiana selaku orang tua, anak-anaknya tetaplah Kompasianer yang membawa nama keluarga Kompasiana.

Selaku orang tua, Admin Kompasiana tak perlu ikut bermain di cekuk-cekuk itu. Ibarat kate bang Ahok "udeh kagak level lah..."
Berkaitan dengan artikel tersebut, Admin Kompasiana tak lagi jadi orang tua bijak-yang harusnya berdiri di tengah dalam posisi 'Netral'.

Tentu akan ada pertanyaan atau 'bantahan' atas tulisan saya ini ; Apakah Admin Tak boleh menulis?

Boleh..boleeh...! Tak ada yang melarang, kok. Justru bagus kalau admin ikutan menulis. Biar tidak stress karena dipaksa membaca ragam tabiat artikel para Kompasianer . Admin Kompasiana juga manusia yang merindukan penyaluran kasih dan sayang. Heu heu heu..

Bagi para Kompasianer tulisan Admin bisa dijadikan rujukan 'cara menulis yang baik'. Atau...Pssssst! Para Kompasianer bisa juga menjajal Admin ; ' Admin bisa nulis apa kagak? Sehebat apa sih tulisan Admin? Bisa lebih hebat dari bang Ahok apa tidak? Nulisnya kayak orang pakai celana atau tidak? Dan seterusnya dan seterusnya " sesuai tabiat masing-masing Kompasianer dalam melihat Admin.

Sependek pemikiran Saya, tulisan Admin Kompasiana sejatinya memuat satu hal pokok, yakni ;

- Suatu informasi bagi semua Kompasianer dan Pembaca Kompasiana. Informasi ini bisa merupa reportase atau pengumuman/pemberitahuan untuk diketahui oleh pembaca tentang suatu hal berkaitan dengan rencana atau program di Kompasiana. Informasi itu Bukan sebuah OPINI, karena OPINI adalah milik Kompasianer dengan masing-masing Tabiatnya.

-Apabila ingin membuat artikel opini, maka label penulisnya bukanlah ADMIN KOMPASIANA sebagai sebuah TIM KERJA, melainkan nama pribadi si Admin Kompasiana. Silahkan salah satu admin yang sudah 'Gatel' menulis opini apapun, baik yang Sara, Sinis, Sarkastik atau se-Lebay apapun, yang sesuai aturan Kompasiana yang mengikat kita bersama.

Silahkan individu admin menulis opini sebagai aspirasi pribadi, walau Kompasianer tahu bahwa si Penulis adalah admin.

Lihatlah Mas Isjet atau Kang Pepih Nugraha juga menulis artikel opini, namun mereka tidak bawa Kolegalitas Tim Kompasiana.

Kembali ke Laptop...

Bila kita lihat tulisan bertagar yang ditulis Admin Kompasian tersebut, tampak bahwa tulisan itu adalah opini. Mari kita singkap ;

- Artikel itu berupa laporan kepada pembaca tentang perkembangan persaingan Cagub Ahok-Yusril dalam suguhan trending topic yang cukup menyita perhatian publik dunia maya. Munculnya Tagar #AhokTakLayakJadiGubernur mendapatkan peringkat tertinggi sebagai tema yang paling dibicarakan netizen di Twitter. Dalam penyajiannya dilengkapi data-data statistik lapangan yang discreeTwitter sebagai bukti laporan.

-Dalam uruaiannya, hasil data itu diinterpretasi dengan perbandingan adanya Tagar tandingan dari kubu Ahok(?). Kemudian artikel ditutup dengan suatu penyataan Admin Kompasiana (Atau YUD?) sebagai penulis tentang 'harapan' pada Pilgub DKI.

Secara kepenulisan tidak ada salah. Namun pada konteks sebagai Laporan/Reportase, unsur Interpretasi penulis telah 'merusak' tulisan itu. Sejatinya, laporan/Reportase jurnalistik 'tidak boleh' memuat interpretasi penulis. Biarkan para pembaca saja yang membuat interpretasi tersebut.

Interpretasi penulis menjadikan sebuah tulisan laporan lapangan menjadi sebuah artikel bergenre Opini. Disinilah letak terjadinya 'kecelakaan' Admin Kompasiana (YUD). Admin Kompasiana terpleset saat ramai-ramainya perkembangan Persaingan Pilgub DKI. Pertanyaannya adalah apakah Admin Kompasiana terpleset karena dapat tekanan dari pihak tertentu? Atau semata-mata , atau kebablasan dalam membuat laporan? Untuk menjawab semua itu hanya admin saja yang tahu. Pembaca hanya saksi dan pengamat dengan interpretasi dan 'tabiat' masing-masing.

Tentang Inisial Penulis Artikel

Lihatlah di Bagian atas tertulis penulisnya Admin Kompasiana, namun diakhir tulisan ada inisial [YUD].

Tulisan 'Opini' itu ditulis (?) oleh seseorang admin berinisial 'YUD' namun mengatasnamakan Admin Kompasiana selaku Penulis.

Apa logika saya yang salah, ya? Begini ; Artikel itu ditulis Admin Kompasiana, namun diakhir tulisan ada kata inisial [YUD], bukan [Admin Kompasiana] sebagai sebuah tim-kolektifitas kerja.

Pertanyaannya adalah apakah [YUD] dan Admin Kompasiana sebagai TIM Kerja adalah satu orang? Eeehhh..kewalik...apakah Admin Kompasiana sebagai tim hanya satu orang saja bernama [YUD] ?

Akhirulkalam

Untuk pimpinan Kompasiana, kalau ternyata Admin Kompasiana berisial [YUD] telah berbuat salah, khilaf, atau bertindak diluar prosedur dalam postingan artikel itu mohon dimaafkan dan jangan dipecat! Cukuplah Fahri Hamzah saja yang menjalani nikmatnya pemecatan.

Saya masih sayang Admin Kompasiana dan [YUD]- kalau laki-laki akan saya angkat jadi anak dengan hak waris kerajaan saya sama dengan anak-anak saya lainnya. Atau saya jadikan menteri di kabinet kerajaan Saya. Bila ternyata perempuan muda akan saya jadikan Istri Simpanan hari tua, plus bunga dan jaminan perlindungan resiko simpanan dan jaminan kesehatan.

Rasa sayang pada admin dan YUD merupakan salah satu implementasi strategi Saya sebagai bakal calon admin 2222. Bagaimanapun Petahana Admin harus Saya hormati demi terlaksananya ambisi Saya itu secara elegan. Kata bu Guru, politisi itu harus cantik main baik terhadap kawan maupun lawan, bukannya main hantam seperti preman pasar. Sekarang sudah bukan jamannya lagi bertindak seperti itu.

Demikianlah yang bisa Saya sampaikan hingga saat ini. Saya sadar bahwa artikel ini mengandung 'kesombongan diri dan arogansi sektoral' (sektor celana). Untuk itu Saya tidak minta maaf demi menjaga kesombongan itu sendiri.

Semoga Pembaca bisa menikmatinya dengan tabah dan penuh penghiburan. Selamat siang dan salam sejahtera untuk Saya semua.

-----

Pebrianov8/04/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun