Secara Politis, oleh admin Kompasiana, posisi Pakde seperti Ruhut Sitompul di Demokrat. Dia menjadi 'corong' dan pembangun hingar-bingar Kompasiana dengan gaya usil-main tabrak-ceplasceplos-colakcolek sehingga publik gemes! Partai pun jadi populer dan makin renyah di tengah publik.
Orang seperti ini cocok ditempatkan di lapangan-ditengah hiruk-pikuk publik, bukan sebagai 'pemimpin' tingkat jajaran elit yang 'serius abiss'. Makanya kasta Pakde Kartono dibiarkan tetap Hijau karena kalau Biru...pakde akan berubah jadi serius, kehilangan rasa humor, dan jaim mirip SBY yang pemikir sampai kantong matanya membesar dan hitam. Akibatnya Kompasiana akan kaku seperti Anu kalau lagi Nganu.
Diposisi politis itu status Biru dan langganan HL pakde justru akan membuat publik Kompasiana yang tadinya riang gembira jadi minder, merasa jauh dari si sosok, serta segala inferioritas lainnya. Maklum saja HL dan Biru tak terjangkau oleh kebanyakan Kompasianer. Mereka tak akan pernah merasakan lagi pesta-pesta dari si Pembuat Pesta !
Padahal banyak pembaca Kompasiana hadir untuk berpesta, bukan mencentang papan statistik. Kalaupun dalam pesta itu papan statistik tercentang, itu tak lebih dari konsekuensi logis sebuah pesta dan serapan personal yang tak terelakkan.
Kedua
Secara teologis terselubung, admin ingin 'mengajarkan' para Kompasianer bahwa tidak ada mahluk Kompasianer yang sempurna. Karena kalau sempurna, maka tidak ada lagi tantangan yang ingin dihadapi, dipecahkan dan dinikmati secara keroyokan.
*****
[caption caption="http://www.bartuder.com/wp-content/uploads/push_yourself_to_the_limit_.jpg"]
Pencarian diri dan Limit
Dengan ketaksempurnaan itu Kompasianer akan selalu mencari dan terus mencari kesempurnaan hingga di Limit kesekian namun tak sampai garis sempurna. Proses mencari inilah penuh dinamika dan spektrum warna tak berkesudahan yang menjadikan Kompasiana selalu hidup, berdenyut, menggelinjang, melenguh tanpa Orgasme apalagi Squirty ! Di 'proses menuju' itulah kenikmatan sesungguhnya tersaji ! Ingat, bukan puncak kenikmatan-yang akan usai ditelan sunyi bersaut dengkuran tanpa arti.
Sosok si Limit itu oleh Kompasiana diciptakan dan diwakili sosok Pakde Kartono. Disitulah dia menjalani nasibnya tanpa dia pernah sadari.