[caption caption="sumber gambar : http://quotivee.com/wp-content/uploads/2013"][/caption]
Sungguh malang nasib Kompasianer besar yang satu ini. Sudah lama malang melintang di Kompasiana namun tak seberuntung para yunior dan muridnya.
Dia adalah pakde Kartono. Sosok yang satu ini sudah memiliki prestasi di Kompasiana, jumlah postingan dan penggemar banyak, rating tinggi, mantan calon Kompasianer Of the Year 2014, serta pernah memecahkan rekor meraih jutaan pembaca untuk satu artikelnya. Sampai kiamat pun mungkin tak ada yang mampu menandingi prestasinya itu.
Kalau soal gaya flamboyannya ; sebagai pria mapan, ganteng, pinter, humoris, disenangi dan menyukai gadis kinyis-kinyis serta mbak-mbak offiice itu tak seberapa karena saya pun demikian. Namanya saja lelaki normal. Bahkan saya lebih unggul sedikit, yakni lebih jelas wujudnya, lebih muda, dan tentu saja lebih kuat dan tahan lama. Heu heu heu....!
Malangnya nasib Pakde Kartono adalah artikelnya jarang dapat HL, sehingga jumlah seluruh tulisannya tidak sebanding dengan HL yang didapat, sehingga rasionya di bawah garis kemiskinan. Demikian juga rasio tulisan Hightlight dengan HL juga jeblok. Dalam ilmu statistik kondisi ini relatif timpang.
Selain itu status pakde 'masih' Terverifikasi Hijau, artinya derajatnya sama dengan saya dan kompasianer lainnya yang 'masih dianggap hijau'. Tapi masih jauh dari mirip Hulk atau Butho Ijo! Heu heu heu....Padahal santan Pakde sudah banyak dan kental. Harusnya, dari kekentalan itu dia sudah mendapatkan si Biru sejak diberlakukan Kasta di Kompasiana.
Saya sebagai Kompasianer yang berpikiran kritis dan berpaham lebay-isme serta bertabiat usil sudah lama 'heran'. Kenapa nasib Pakde Kartono demikian?
[caption caption="sumber gambar : https://liawbudisequislife.files.wordpress.com"]
Ada apa dibalik kelambu?
Melalui penelitian yang seolah-olah sahih dengan metode abal-abalogi dan didasarkan teori minyak angin tjap Anu saya dapatkan beberapa kesimpulan sementara ;
Pertama ;
Secara Politis, oleh admin Kompasiana, posisi Pakde seperti Ruhut Sitompul di Demokrat. Dia menjadi 'corong' dan pembangun hingar-bingar Kompasiana dengan gaya usil-main tabrak-ceplasceplos-colakcolek sehingga publik gemes! Partai pun jadi populer dan makin renyah di tengah publik.
Orang seperti ini cocok ditempatkan di lapangan-ditengah hiruk-pikuk publik, bukan sebagai 'pemimpin' tingkat jajaran elit yang 'serius abiss'. Makanya kasta Pakde Kartono dibiarkan tetap Hijau karena kalau Biru...pakde akan berubah jadi serius, kehilangan rasa humor, dan jaim mirip SBY yang pemikir sampai kantong matanya membesar dan hitam. Akibatnya Kompasiana akan kaku seperti Anu kalau lagi Nganu.
Diposisi politis itu status Biru dan langganan HL pakde justru akan membuat publik Kompasiana yang tadinya riang gembira jadi minder, merasa jauh dari si sosok, serta segala inferioritas lainnya. Maklum saja HL dan Biru tak terjangkau oleh kebanyakan Kompasianer. Mereka tak akan pernah merasakan lagi pesta-pesta dari si Pembuat Pesta !
Padahal banyak pembaca Kompasiana hadir untuk berpesta, bukan mencentang papan statistik. Kalaupun dalam pesta itu papan statistik tercentang, itu tak lebih dari konsekuensi logis sebuah pesta dan serapan personal yang tak terelakkan.
Kedua
Secara teologis terselubung, admin ingin 'mengajarkan' para Kompasianer bahwa tidak ada mahluk Kompasianer yang sempurna. Karena kalau sempurna, maka tidak ada lagi tantangan yang ingin dihadapi, dipecahkan dan dinikmati secara keroyokan.
*****
[caption caption="http://www.bartuder.com/wp-content/uploads/push_yourself_to_the_limit_.jpg"]
Pencarian diri dan Limit
Dengan ketaksempurnaan itu Kompasianer akan selalu mencari dan terus mencari kesempurnaan hingga di Limit kesekian namun tak sampai garis sempurna. Proses mencari inilah penuh dinamika dan spektrum warna tak berkesudahan yang menjadikan Kompasiana selalu hidup, berdenyut, menggelinjang, melenguh tanpa Orgasme apalagi Squirty ! Di 'proses menuju' itulah kenikmatan sesungguhnya tersaji ! Ingat, bukan puncak kenikmatan-yang akan usai ditelan sunyi bersaut dengkuran tanpa arti.
Sosok si Limit itu oleh Kompasiana diciptakan dan diwakili sosok Pakde Kartono. Disitulah dia menjalani nasibnya tanpa dia pernah sadari.
Anda bayangkan saja kalau si Kompasianer itu ; Pinter dan cerdas, mapan, religius, humoris, sayang istri, digemari gadis-gadis, punya postingan artikel banyak serta digemari beragam kalangan dan lain sebagainya, kemudian selalu dapat HL dan berstatus verifikasi Biru. Tamat sudah (contoh) pencarian diri berkompasiana ! Maka usai pula cerita panggung Kompasiana baginya. Tak ada hal baru lagi yang terbangun dari keliaran benak, kegenitan aksara, kepatuhan konvensi dan bahkan ketakutan personalitas.
Yang ada mungkin arogansi diri yang sublim namun membunuh ekosistem Kompasiana. Padahal Arogansi adalah musuh besar bagi dunia Sharing (berbagi) dan Inspirasi. Dan jadi kutukan dunia 'Connecting'. Kalau pun letupan arogansi itu ada, cukuplah sebuah wujud Narsis menjadi ruang eksekusi terindah milik bersama-karena dunia kontemporer sangat permisif pada Narsis.
Pada pengkondisian pakde Kartono itu, dari balik kelambu Abraham Maslow dan Pepih Nugraha tersenyum girang, cekikikan penuh kegenitan, bahkan ngakak tertahan karena khusus untuk Kompasiana mereka berdua telah bersekongkol mengubah atau mengacak sedikit bentuk Piramida Hirarki Kebutuhan.
Pada saat itu pula Tuhan tersenyum bahagia tanpa rasa malu, dan kemudian Dia tidur dengan nyenyak.
Kalau demikian adanya, tetap berbahagialah Pakde Kartono dan pakde-pakde yang lain di Kompasiana.
Heu heu heu ! 14/07/2015
Catatan ; Artikel ini hanyal sudut pandang Usil atas artikel Pakde Kartono 'Tulisanku Bagus Tapi Jarang Headline, Salahnya Dimana?' ( yang kemudian mendapat HL dari Admin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H