Mohon tunggu...
Putra Niron
Putra Niron Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat di AMI Malaka dan SASOKA; Owner Kedai NN15

Penikmat Puisi, Penulis Kumpulan Puisi Penyair Bukan Kami; Kami dan Perjamuan Terakhir; dan Mata Cermin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Di Puncak Ini

18 April 2019   22:10 Diperbarui: 18 April 2019   22:16 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di taman tadi, aku sungguh-sungguh takut.

Aku sungguh ingin cawan berdarah ini berlalu.

Peluh-peluhku berdarah.

Aku begitu tersiksa dalam kesendirianku.

Tak ada yang mau berjaga bersamaku.

Mereka yang setiap hari bersama-sama denganku pun enggan.

Aku hampir mati hati melihat mereka pulas tertidur.

Aku sendiri.

Aku bahkan mau mati saat itu juga,

ketika ciuman dusta melayang di wajahku.

Aku diserahkan dengan sebuah ciuman dari pendusta.

Benar. Ada keegoisan dan dusta yang menanti kemenangan mereka.

Aku pasrah.

Jika ini kehendakMu.

Aku pasrah ketika digiring menuju tempat pengadilan,

Lalu salib dijatuhkan di depanku.

Aku melihat ada beban dosa umat kesayanganMu,

Mereka tengah menanti melihat bahu ini akan memikul beban-beban itu.

Bapa, hati ini berat menanggung derita.

Tapi...

Inilah kehendakMu ya Bapa.

Aku serahkan kepadaMu.

Jika ini kehendakMu,

Aku tak berkutik ketika pakaianku ditanggalkan dan ribuan cambukan mulai merobek kulitku,

Hingga luka-luka terbuka.

Pakaianku disematkan lagi ke tubuhku

Hingga luka-luka menempel di sana.

Lalu bahu yang tak beralas dipaksa untuk memikul salib yang berat.

Memikul ribuan cacat cela mereka.

Aku benar-benar terhina sampai ke debu.

Ketika harus tersungkur beberapa kali ke atas batu-batu di jalanan,

Dan salib menindih luka-luka yang tengah terbuka.

Lagi, seonggokkan hinaan harus membuat perih luka hati.

Kakiku tak beralas,

Di sekitar jalan dipenuhi kerikil tajam

Mereka tak ada yang memberiku sepucuk sandal,

Kakiku berdarah-darah.

Pukulan demi pukulan,

Cacian demi cacian terus kuterima.

Perih...

Lebih perih lagi ketika aku disebut sebagai pengkhianat,

Pengkhianat-Mu Bapa.

Tubuhku kali ini serasa remuk.

Tulang-tulangku serasa patah dan hancur.

Sungguh berat derita ini ya Bapa.

Pada batas ini, tubuhku sungguh ingin ini berakhir.

Bapa, inikah umat yang Kau sayangi?

Ampunilah mereka ya Bapa.

Kali ini aku benar-benar ditelanjangi.

Pakaian yang berlumur darah itu mereka jadikan undi

Belum puaskah mereka menghinaku?

Telapak yang pernah menjamah luka mereka,

Kini mereka lukai,

Kini harus bersimbah darah.

Sebilah paku menembus tulang telapakku.

Kaki yang pernah membawa mereka ke jalan-jalan

Kini mereka lukai juga,

Kini harus juga menahan perih akibat paku yang tajam tertembus.

Benar, apa yang diramalkan atasku.

Aku seperti anak domba yang dibawa tak mengembik.

Aku pasrah ketika dibantai secara keji.

Bapa..

Benarkah engkau meninggalkanku?

Langit tak terbuka lagi,

Seperti di saat engkau berseru,

"Inilah anak yang ku kasihi, dengarkanlah dia!"

Mereka tak sedikitpun mau mendengarku.

Bapa..

Inikah cawan yang kau kehendaki?

Ketakutanku di taman tadi,

Hampir selesai.

Lihatlah Bapa,

Umat kesayangan-Mu akan tertebus.

Sekarang biarlah nyawa ini berakhir.

Di puncak ini kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu.

Selesai.

Wairpelit, Maret 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun