Mohon tunggu...
Paustinus Siburian
Paustinus Siburian Mohon Tunggu... Advokat -

Pemerhati masalah-masalah hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa yang Wajib Bersertifikat Halal

26 April 2017   09:53 Diperbarui: 26 April 2017   19:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jenuh juga dengan Pilkada Jakarta yang berakhir dengan kekalahan Petahana dan datangnya Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Untuk menyegarkan baik juga jika kita melihat pada suatu persoalan lain yang tidak kalah penting sehubungan dengan Uji Materi atas UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 5/PUU-XV/2017 yang sudah bergulir (berkas perkaranya tersedia di www.mahkamahkonstitusi.go.id ). Salah satu yang menjadi pokok perkara adalah soal kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU JPH.  

Pasal 4  UU JPH berbunyi

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Secara jelas ditentukan dalam Pasal 4 bahwa “Produk …. wajib bersertifikat halal”.

Jika dibaca secara sederhana seperti tidak ada persoalan konstitusional dalam Pasal 4 tersebut. Masalah konstitusionalitas dalam UU tersebut terletak pada soal halalnya dan bukan yang “haram”.

Untuk dapat melihat kebertentangan Pasal 4 dengan UUD 1945 yang harus dilakukan adalah menganalisis unsure-unsur yang membangun Pasal 4 tersebut.

1. Produk

Saya melihat pertama-tama pada lingkup dari Pasal 4. Apakah  yang wajib bersertifikat halal itu? Jawabannya: Produk. Apakah produk itu?   Pasal 1 angka 1 UU JPH  menyebutkan bahwa Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pembacaan yang teliti pada Pasal 1 angka 1 mengindikasikan bahwa untuk kata “Produk” yang dicakup dalam Pasal 4 dan dalam keseluruhan undang-undang itu, terdapat empat kategori produk yang dicakup, yaitu:

1.Barang yang terkait dengan  makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik;

2. Jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic;

3. Barang dan jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic; dan

4. barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pemohon akan menguraikan sebagai berikut:

1.1 Kategori Pertama Produk: Barang yang terkait dengan  makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik 

Jika diurai satu demi satu kategori pertama Produk maka akan didapatkan pengertian berikut:

a. Produk adalah barang yang terkait dengan makanan;

b. Produk adalah barang yang terkait dengan minuman;

c. Produk adalah barang yang terkait dengan obat;

d. Produk adalah barang yang terkait dengan kosmetik;

e. Produk adalah barang yang terkait dengan produk kimiawi;

f. Produk adalah barang yang terkait dengan Produk Biologi;

g. Produk adalah barang yang terkait dengan Produk rekayasa genetic.

Selanjutnya perlu dilihat arti dari  frase “yang terkait dengan”. Dalam KBBI ada empat arti kata “terkait”, yaitu   1 sudah dikait; tidak sengaja mengait; 2 dapat dikaitkan: ;3 bersangkut paut (dengan); berhubungan (dengan), dan  4 ada kaitannya; ada hubungannya. Keempat arti  tersebut dapat berlaku terhadap hubungan antara barang dan , misalnya, makanan. Barang dan makanan dihubungkan oleh frase “yang terkait dengan”. Penghubungan itu dapat menjadi:

a. 1. Barang yang sudah dikait atau tidak sengaja mengait dengan makanan.

a.2. Barang yang dapat dikaitkan dengan makanan;

a.3. Barang yang bersangkut paut atau berhubungan dengan makanan; dan

a.4 Barang yang ada kaitan atau ada hubungan dengan makanan.

Dari hubungan-hubungan itu dapat dilihat bahwa sesungguhnya antara kata “barang” dengan kata “makanan” adalah dua hal yang terpisah. “Barang” yang terkait dengan“makanan” bukan makanan. Dengan demikian yang menjadi target dari UU JPH bukanlah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, atau produk rekayasa genetika per se. Kalau demikian halnya, pertanyaannya menjadi apakah barang yang terkait dengan makanan itu, yang merupakan cakupan pengertian kata “produk” dalam Pasal 1 angka 1 UU JPH Halal yang menjadi pokok pengaturan dalam Pasal 4 UU JPH.

Saya berpandangan, setelah memeriksa UU JPH, barang yang terkait dengan makanan adalah piring, sendok, garpu, pisau, alat-alat yang dipergunakan untuk tersedianya makanan, seperti rice cooker, kuali, dan lain-lain. Itulah barang yang terkait dengan makanan dan yang wajib bersertifikat halal. Jadi dalam kategori pertama produk, yang wajib bersertifikat halal bukan makanannya. Selanjutnya, untuk minuman. Bukan minumannnya yang wajib bersertifikat halal, tetapi barang yang terkait dengan minuman itu, seperti gelas, botol, dispenser, pembuka botol, plastic, sedotan atau wadah lainnya serta peralatan-peralatan yang digunakan untuk tersedianya minuman itu. Demikian selanjutnya, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, atau produk reskayasa genetic  tidak wajib bersertifikat halal, yang wajib bersertifikat halal adalah barang-barang yang terkait dengan  obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, atau produk rekayasa genetik.

1.2. Jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic;

Dalam KBBI disebutkan tiga arti dari jasa, yaitu:

  1. nperbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain, negara, instansi, dan sebagainya:pemimpin itu banyak --nya bagi negara
  2. n Manperbuatan yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan orang lain; layanan; servis
  3. n Ekaktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya.

Dari tiga arti yang diberikan KBBI arti 2 dan 3 relevan dalam memahami arti jasa.

Sebagaimana sudah dibuatkan pengertian menyangkut frase “yang terkait dengan”dalam hubungan dengan kategori pertama produk, Saya melihat pengertian di atas juga  berlaku pada jasa. Dengan demikian dalam konteks jasa, pengertian jasa dalam Pasal 1 angka 1, dengan mengambil contoh makanan, adalah:

a. 1. Jasa yang sudah dikait atau tidak sengaja mengait dengan makanan.

a.2. Jasa yang dapat dikaitkan dengan makanan;

a.3. Jasa yang bersangkut paut atau berhubungan dengan makanan; dan

a.4 Jasa yang ada kaitan atau ada hubungan dengan makanan.

Saya tidak melihat ada kesulitan dalam memahami hubungan antara jasa dan makanan karena keduanya memang berbeda. Hal ini tentu berbeda ketika membahas hubungan antara barang dan makanan dimana makanan adalah juga barang tetapi karena dipergunakannya frase “yang terkait dengan” untuk menghubungkan barang dengan makanan maka menjadi agak ribet. Sehubungan dengan pengertian tersebut maka per defenisi tidak ada yang jadi persoalan dalam jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, atau produk rekayasa genetika.

 

1.3 Barang dan Jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic

Dalam Pandangan saya, kategori ketiga ini tidak perlu ada jika Pasal 1 angka 1 tidak menggunakan kata sambung “dan/atau”. Membaca ketentuan ini tampak yang dimaksudkan adalah bahwa yang menjadi target adalah barang dan jasa sebagai satu kesatuan. Namun demikian ada ketimpangan. Jika barang yang menjadi target UU bukan makanan dan lain-lain tetapi jasa adalah untuk makanan maka tampak bahwa ini menjadi tidak padu. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian yang melanggar Pasal 28D ayat (1). 

1.4 Barang Gunaan

Kategori keempat produk adalah barang gunaan. Barang gunaan dibagi menjadi tiga sub kategori, yaitu barang gunaan yang dipakai, barang gunaan yang digunakan, dan barang gunaan yang dimanfaatkan. Menurut Pasal 4 barang gunaan yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Pasal 1 angka 1 tidak mendefenisikan barang gunaan tetapi hanya menyatakan “barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat” seperti  pakaian, jam tangan, handphone, computer, laptop, topi, sisir, sepatu, tas, kondom, mobil, senjata dan lain-lainnya. Hal ini tentu menjadi ketidakpastian tersendiri dan yang memberi peluang kepada barang gunaan untuk mendapat kendala memasuki pasar hanya karena tidak bersertifikat halal dan dengan demikian membatasi pilihan bagi Anggota Masyarakat tertentu. Frase “yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat” sangat luas cakupannya. Mobil, sepeda motor, senjata api, pasir, batu juga termasuk barang gunaan dalam pengertian dari kategori keempat produk dalam Pasal 1 angka 1 UU JPH. Berhubung sangat luas, maka ini akan membuat ketidakpastian mengenai cakupan dari Pasal 4 dalam hubungan dengan Pasal 1 angka 1 UU JPH.

Ada tumpang tindih disini juga. Jika sesuai pengertian dalam Kategori Pertama produk, seperti disebut di atas, kategori pertama produk adalah juga barang gunaan. Dengan demikian pengertian produk antara kategori pertama dan keempat menjadi suatu hal yang aneh sendiri.  

2. Masuk, Beredar, Diperdagangkan dan Bersertifikat Halal

Kata “Masuk” berarti produk-produk yang berasal dari luar wilayah Indonesia memasuki wilayah Indonesia. Beredar berarti bahwa barang yang bersangkutan berada dalam sirkulasi. Dalam KBBI disebutkan adanya tiga arti kata beredar, yaitu (1) berjalan berkeliling (hingga sampai ke tempat permulaan) (2) berpindah-pindah dari tangan ke tangan atau dari tempat satu ke tempat lain; berputar:dan (3) berlaku dalam masyarakat.Dari tiga arti kata beredar dalam KBBI, menurut saya arti (2) yang cocok dengan kata beredar dalam Pasal 4 UU JPH tersebut. Dengan demikian produk yang berpindah dari tangan ke tangan atau dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Kata diperdagangkan tidak ada dalam KBBI. “Diperdagangkan” menggunakan kata kerja passif. Kata kerja aktifnya adalah “memperdagangkan” dan dalam KBBI berarti mendagangkan. Mendagangkan dalam KBBI, berarti vmenjualbelikan secara niaga (biasanya harga jual lebih mahal daripada harga beli. Dari arti tersebut diperdagangkan berarti dijualbelikan secara niaga.

Penggunaan kata sambung “dan” diantara tiga kata masuk, beredar, dan diperdagangkan” mengindikasikan bahwa ketiganya harus dilakukan. Untuk Produk impor tidak cukup hanya masuk. Setelah masuk produk itu harus beredar. Produk impor itu tidak cukup hanya masuk dan beredar tetapi juga harus diperdagangkan. Jadi produk impor yang masuk, beredar, dan diperdagangkan itulah yang harus bersertifikat halal. Untuk produk domestic, suatu produk wajib bersertifikat halal apabila produk itu beredar dan diperdagangkan.

Sekarang kita melihat pada pengertian dari bersertifikat halal. Bersertifikat artinya mempunyai atau mendapat sertifikat atau sudah lulus pengujian tertentu sehingga dinyatakan ‘halal’. Pasal 1 angka 5 menentukan bahwa sertifikat halal sebagai alat untuk membuktikan atau untuk menunjukkan kehalalan suatu produk. Pasal 1 angka 2 menentukan defenisi dari  Produk Halal sebagai Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal dengan demikian adalah alat bukti untuk menunjukkan bahwa suatu produk sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam.

Dari pengertian-pengertian tersebut maka Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam).  Pengertian yang demikian akan berdampak bahwa suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia (masuk) tidak perlu bersertifikat halal, karena tidak beredar dan diperdagangkan. Demikian juga untuk pemesanan secara online dari luar Indonesia untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal. Demikian juga halnya untuk hadiah, suatu produk tidak perlu bersertifikat halal. Dalam masa kampanye,, misalnya, para calon biasanya membagi-bagikan kaos (barang gunaan). Kaos tersebut tidak perlu bersertifikat halal karena kaos tersebut hanya beredar tetapi tidak diperdagangkan. Barang yang terkait dengan makanan dalam pesta, misalnya, tidak perlu bersertifikat halal karena hanya beredar dan tidak diperdagangkan. Ketika pedagang menjual barang yang terkait dengan makanan ke penyelenggara pesta maka barang itu perlu bersertifikat halal. Ketika barang beredar dalam pesta (hubungan antara penyelenggara pesta dengan tamunya) barang itu  tidak perlu bersertifikat halal.

Sampai disini dulu. Setelah melihat batasan dalam Pasal 4 UU JPH, dalam tulisan selanjutnya akan ditinjau pertentangannya dengan UUD 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun