Mohon tunggu...
Paulus Laratmase
Paulus Laratmase Mohon Tunggu... Guru - Pimpinan Yayasan Santa Lusia Biak Papua

Membaca, menulis dan olah raga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Politik Uang Dalam Pemilukada: Dilema Pembuktian di Hadapan Mahkamah Konstitusi

20 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 20 Desember 2024   16:03 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Paulus Laratmase

-

Politik uang dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi fenomena yang tidak hanya mencederai esensi demokrasi, tetapi juga memperburuk kualitas pemerintahan yang terpilih. Praktik politik uang, yang sering kali dilakukan secara tersembunyi dan sulit dibuktikan, mempergunakan kekuatan finansial sebagai instrumen untuk membeli suara rakyat. Artikel ini akan membahas pengertian politik uang serta praktiknya dalam Pemilu dan Pilkada, dan bagaimana hal ini menjadi ancaman serius terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Selain itu, akan dibahas pula tantangan besar dalam pembuktian politik uang di pengadilan, terutama di Mahkamah Konstitusi (MK), yang sering kali sulit memperoleh bukti yang cukup kuat untuk mendukung klaim pelanggaran.

Tulisan ini juga mengkaji efektivitas regulasi yang ada dalam mengatasi praktik politik uang, serta tantangan dalam implementasinya di lapangan. Regulasi yang telah ada, seperti Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, meskipun memberikan dasar hukum yang jelas, tidak cukup efektif dalam mengurangi praktik politik uang, terutama karena lemahnya struktur penegakan hukum dan budaya hukum yang permisif di masyarakat. Selain itu, meskipun politik uang dapat memengaruhi hasil Pilkada, sering kali pembuktian di Mahkamah Konstitusi terkendala oleh syarat ambang batas suara yang sulit dipenuhi.

A. Pengertian Politik Uang dan Praktiknya dalam Pemilukada


Politik uang, dalam konteks pemilu atau Pilkada, adalah penggunaan kekuatan finansial untuk memperoleh suara rakyat dalam sebuah kontestasi politik. Dalam sistem demokrasi modern, terutama di Indonesia, politik uang telah menjadi salah satu metode yang banyak digunakan oleh kandidat untuk memenangkan pemilihan. Praktik ini tidak hanya terjadi dalam Pilkada, tetapi juga dapat ditemukan dalam tingkat yang lebih rendah seperti Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Pemilihan RT/RW, dan bahkan pemilihan di level legislatif.

Dalam pengertian yang lebih sederhana, politik uang dapat diartikan sebagai tindakan menggunakan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi keputusan pemilih agar memberikan suara kepada kandidat tertentu. Praktik ini sering kali dilakukan secara tersembunyi dan halus, sehingga sangat sulit untuk dibuktikan secara hukum. Meskipun demikian, fenomena politik uang ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi, karena mengalihkan pemilihan yang seharusnya didasarkan pada kualitas figur calon pemimpin, menjadi ajang tukar-menukar suara dengan uang atau materi.

Berbagai faktor menyebabkan terjadinya praktik politik uang, mulai dari faktor ekonomi masyarakat yang belum mapan, rendahnya pendidikan politik, hingga kurangnya pemahaman terhadap hak-hak pemilih. Masyarakat yang merasa kecewa dengan kinerja para politisi dan pejabat pemerintahan, terkadang lebih memilih untuk menerima uang sebagai kompensasi minimal dari mereka yang mencalonkan diri dalam pilkada. Hal ini menggambarkan bahwa politik uang sudah menjadi bagian dari kultur demokrasi transaksional yang ada di Indonesia.

B. Politik Uang Sebagai Kejahatan dalam Sistem Demokrasi


Di dalam sistem demokrasi, politik uang bukan hanya sebuah pelanggaran administratif, tetapi dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan yang berpotensi merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Sebagai tindakan yang mengutamakan materi daripada kualitas pemimpin yang akan dipilih, praktik ini mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan pemerintahan yang baik. Dalam konteks negara hukum, politik uang mengancam integritas pemilu itu sendiri, karena mengubah tujuan pemilihan yang semestinya untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, kapasitas, dan integritas, menjadi sekadar ajang transaksi suara.

Praktik ini, jika tidak dihentikan, akan merusak kualitas demokrasi dan memperlemah legitimasi pemerintahan yang terpilih. Pemilu yang seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan melibatkan mereka dalam proses politik yang sehat, justru akan menjadi alat untuk memperkaya pihak-pihak tertentu yang mampu mengendalikan uang. Ketika uang menjadi instrumen utama dalam memenangkan Pilkada, maka suara rakyat yang seharusnya dihargai secara adil, akan tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik yang mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok.

Selain itu, dampak dari praktik politik uang adalah merusaknya akuntabilitas pemerintahan, karena pejabat yang terpilih melalui cara-cara tidak jujur seperti ini cenderung akan lebih loyal kepada pihak yang membiayai mereka daripada kepada rakyat yang memilih mereka. Ini akan memperburuk kualitas pemerintahan, mengarah pada korupsi dan kolusi, serta memperpanjang siklus kemiskinan politik.

C. Tantangan Pembuktian Politik Uang


 Meskipun terdapat regulasi yang mengatur pelarangan politik uang, seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pembuktian pelanggaran ini di pengadilan, khususnya di Mahkamah Konstitusi (MK), tetap menjadi tantangan besar. Salah satu alasan utama adalah karena politik uang sering kali dilakukan secara tersembunyi dan terorganisir, sehingga sangat sulit bagi pihak berwenang untuk menemukan bukti yang cukup kuat.

Proses pembuktian politik uang dalam Pilkada juga terhambat oleh ketidakmampuan aparat hukum untuk melakukan pengawasan yang efektif selama proses pemilihan berlangsung. Banyak pelanggaran yang terjadi di lapangan sulit untuk diidentifikasi pada saat itu juga, dan bukti yang ada sering kali tidak cukup untuk membuktikan bahwa pelanggaran tersebut berdampak signifikan terhadap hasil pemilihan.

Di Mahkamah Konstitusi, dalam kasus permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), pengajuan bukti terkait politik uang membutuhkan dasar yang jelas dan meyakinkan, yang mengarah pada perubahan hasil Pilkada. Dalam praktiknya, meskipun ada indikasi politik uang yang terjadi, Mahkamah sering kali menilai bahwa bukti yang ada tidak memenuhi standar yang diperlukan untuk membuktikan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM), yang merupakan salah satu syarat utama dalam mengajukan PHPU.

D. Regulasi Politik Uang, Tantangan Efektivitas Implementasinya

Regulasi yang ada di Indonesia mengenai politik uang sudah cukup jelas dan memadai, namun efektivitas penerapannya sering kali diragukan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur secara rinci tentang larangan politik uang, sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku, dan prosedur yang harus ditempuh jika terdapat pelanggaran. Namun, meskipun regulasi tersebut telah ada, penegakannya masih sangat lemah.

Salah satu alasan utama mengapa praktik politik uang masih terus berlangsung adalah lemahnya struktur penegakan hukum, terutama dalam pengawasan selama masa kampanye dan pemilihan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), meskipun memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya Pemilu/Pilkada, tidak selalu memiliki cukup sumber daya untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh. Selain itu, rendahnya tingkat kesadaran hukum di masyarakat juga turut memperburuk keadaan, karena masyarakat cenderung menganggap politik uang sebagai bagian dari praktik politik yang sah.

Sistem peradilan yang ada juga sering kali tidak efektif dalam menangani kasus politik uang, terutama karena kesulitan dalam membuktikan adanya pelanggaran yang signifikan. Dalam beberapa kasus, meskipun ada laporan atau bukti yang cukup, Mahkamah Konstitusi atau lembaga peradilan lainnya mungkin tidak memadai dalam mendalami atau menginvestigasi perkara tersebut secara tuntas.

E. Implikasi Hukum di Mahkamah Konstitusi


Politik uang memiliki dampak yang besar terhadap hasil Pilkada, terutama ketika praktik ini terjadi secara terstruktur dan melibatkan banyak pihak. Meskipun begitu, dalam konteks hukum, dampak dari politik uang terhadap hasil pemilihan sering kali tidak cukup signifikan untuk memenuhi persyaratan hukum bagi pengajuan PHPU. Sebagai contoh, jika perbedaan suara antara dua calon tidak melebihi ambang batas tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang, permohonan PHPU akan sulit diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagai ilustrasi, jika total suara sah yang dihitung oleh KPU adalah 65.000 suara, maka selisih suara antara calon yang satu dengan lainnya harus mencapai lebih dari 2% untuk dapat diajukan ke MK. Dalam hal ini, jika selisih suara hanya sekitar 1.300 suara atau kurang, Mahkamah Konstitusi akan cenderung menolak permohonan PHPU dengan alasan bahwa perbedaan suara tersebut tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilihan secara keseluruhan.

Namun, meskipun ambang batas suara menjadi kendala dalam pengajuan PHPU, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengabaikan syarat ini jika pemohon dapat memberikan bukti yang meyakinkan tentang adanya pelanggaran yang terjadi selama Pilkada, yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Tetapi, pembuktian TSM itu sendiri sangat sulit dilakukan, dan dalam banyak kasus, permohonan PHPU terkait politik uang sering kali ditolak karena tidak dapat memenuhi syarat tersebut.


F. Kesimpulan

Praktik politik uang dalam Pilkada merupakan ancaman serius terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun ada regulasi yang mengatur dan melarang praktik ini, efektivitas penegakannya masih rendah, yang mengakibatkan politik uang tetap marak. Pembuktian politik uang di Mahkamah Konstitusi juga menghadapi banyak kendala, terutama terkait dengan bukti yang tidak cukup kuat untuk memenuhi syarat hukum. Untuk itu, dibutuhkan reformasi dalam struktur hukum dan budaya hukum di masyarakat agar politik uang dapat diberantas dan kualitas demokrasi dapat dipertahankan. Artinya, meskipun regulasi dan peraturan telah ada, perlu adanya reformasi dalam struktur hukum dan budaya hukum untuk meminimalisir praktik ini dan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun