Di dalam sistem demokrasi, politik uang bukan hanya sebuah pelanggaran administratif, tetapi dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan yang berpotensi merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Sebagai tindakan yang mengutamakan materi daripada kualitas pemimpin yang akan dipilih, praktik ini mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan pemerintahan yang baik. Dalam konteks negara hukum, politik uang mengancam integritas pemilu itu sendiri, karena mengubah tujuan pemilihan yang semestinya untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, kapasitas, dan integritas, menjadi sekadar ajang transaksi suara.
Praktik ini, jika tidak dihentikan, akan merusak kualitas demokrasi dan memperlemah legitimasi pemerintahan yang terpilih. Pemilu yang seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan melibatkan mereka dalam proses politik yang sehat, justru akan menjadi alat untuk memperkaya pihak-pihak tertentu yang mampu mengendalikan uang. Ketika uang menjadi instrumen utama dalam memenangkan Pilkada, maka suara rakyat yang seharusnya dihargai secara adil, akan tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik yang mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Selain itu, dampak dari praktik politik uang adalah merusaknya akuntabilitas pemerintahan, karena pejabat yang terpilih melalui cara-cara tidak jujur seperti ini cenderung akan lebih loyal kepada pihak yang membiayai mereka daripada kepada rakyat yang memilih mereka. Ini akan memperburuk kualitas pemerintahan, mengarah pada korupsi dan kolusi, serta memperpanjang siklus kemiskinan politik.
C. Tantangan Pembuktian Politik Uang
 Meskipun terdapat regulasi yang mengatur pelarangan politik uang, seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pembuktian pelanggaran ini di pengadilan, khususnya di Mahkamah Konstitusi (MK), tetap menjadi tantangan besar. Salah satu alasan utama adalah karena politik uang sering kali dilakukan secara tersembunyi dan terorganisir, sehingga sangat sulit bagi pihak berwenang untuk menemukan bukti yang cukup kuat.
Proses pembuktian politik uang dalam Pilkada juga terhambat oleh ketidakmampuan aparat hukum untuk melakukan pengawasan yang efektif selama proses pemilihan berlangsung. Banyak pelanggaran yang terjadi di lapangan sulit untuk diidentifikasi pada saat itu juga, dan bukti yang ada sering kali tidak cukup untuk membuktikan bahwa pelanggaran tersebut berdampak signifikan terhadap hasil pemilihan.
Di Mahkamah Konstitusi, dalam kasus permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), pengajuan bukti terkait politik uang membutuhkan dasar yang jelas dan meyakinkan, yang mengarah pada perubahan hasil Pilkada. Dalam praktiknya, meskipun ada indikasi politik uang yang terjadi, Mahkamah sering kali menilai bahwa bukti yang ada tidak memenuhi standar yang diperlukan untuk membuktikan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM), yang merupakan salah satu syarat utama dalam mengajukan PHPU.
D. Regulasi Politik Uang, Tantangan Efektivitas Implementasinya
Regulasi yang ada di Indonesia mengenai politik uang sudah cukup jelas dan memadai, namun efektivitas penerapannya sering kali diragukan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur secara rinci tentang larangan politik uang, sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku, dan prosedur yang harus ditempuh jika terdapat pelanggaran. Namun, meskipun regulasi tersebut telah ada, penegakannya masih sangat lemah.
Salah satu alasan utama mengapa praktik politik uang masih terus berlangsung adalah lemahnya struktur penegakan hukum, terutama dalam pengawasan selama masa kampanye dan pemilihan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), meskipun memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya Pemilu/Pilkada, tidak selalu memiliki cukup sumber daya untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh. Selain itu, rendahnya tingkat kesadaran hukum di masyarakat juga turut memperburuk keadaan, karena masyarakat cenderung menganggap politik uang sebagai bagian dari praktik politik yang sah.