Di depan teras perpustakaan
Seorang lelaki lagi duduk merekam pagi
Matanya menatap kesunyian yang rapuh
Bibirnya terlihat merapal nada-nada abstrak
Dalam huruf-huruf mati yang bertingkah
hurut-huruf mati itu menjadi kumpulan diksi-diksi yang sunyi
Sesunyi hatinya yang kala menjelma pagi
Kicauan burung pun ikut meratapi kesunyian itu
Di depan teras perpustakaan
Lelaki itu sedang merayu waktu
Ia sedang memangku lamunan di atas kursi kayu lapuk bertubuh namun tak berjantung
Tubuh kursi itu hidup dalam hembusan nafas penyair
Lelaki itupun mulai sadar
kelapukan kursi adalah kefanaan diri sang penyair
Dan diksi-diksi sunyi adalah syair keabadian
Lelaki itu terlihat seperti bajingan kesepian
Di depan teras perpustakaan
Lelaki itu sedang memanjakan penanya
Yang di dalam penanya itu terlintas berjuta-juta lamunan yang tak bisa diungkapkan secara lisan
Ia hanya bisa memahatnya di tembok-tembok lusuh bertajuk "Sunyi"
Sambil ia memandang burung-burung yang mengepakan sayapnya
Berusaha menghibur hati lelaki yang sepih
Pada mentari yang kian sempurna memancarkan cahayanya
Lelaki itu mulai bercerita apa adanya pada kesunyian
Tentang petualangan hati
Yang merantai di atas kursi lapuk itu
Ia mulai bercerita apa adanya pada pagi
Dalam kata-kata
Lelaki itu tak mau hatinya terbenam dan padam
                                         Bukit Ledalero, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H