Tiba-tiba rindu berjatuhan pada dapur emak
Dapur emak merasuk dalam kalbu
Aku hanya bisa menanak puisi padanya tentang tungku yang tak pernah padam dalam tungku imajinasiku
Pagi yang dingin
Aku terbangun dengan remah-remah mimpi masih berhamburan dalam kepala
Yang begitu sempurnah memanjakan mata
Aku disuguhkan dengan pemandangan yang sempurna
Dengan aroma yang terus menusuk-nusuk lambung
Dihadapan tungku emak aku bagaikan bayi yang merengek minta susu
Sungguh hangantnya dapur emak
Uap kopi meninggalkan embuh pada jendela rasa
Yang tercium mengengat kulit yang masih belia
Dapur emak isinya pelangi
Membentang indah di ufuk jantung
Kasihnya tak luntur dari kabut tebal
Yang keluar dari  tungku
Emak tetap pelik menanak harap dalam pangkuan kasih yang tak pernah luruh
Emak duduk begitu kusyuk dan manis di sudut bibir tungku
Dengan mata terlipat-lipat bagaikan cakar ayam
Mulut emak merapalkan doa
Di hadapan tungku yang masih menyala
Berharap tungku emak tak  padam
Agar  bisa mencurahkan kasihnya di atas piring
Tubuh emak meliuk-liuk sempurna  pada  tungku basah
Basah karena air mata kasih yang ditumpahkan
Dari mata lebam
Yang diperas oleh asap kehidupan
Dapur emak jadi pemenang pagi itu, siang itu, soreh itu maupun malam itu
Ketika senja menyalak angkuh dari sudut barat
Kasih emak pada tungku mengalahkan sejuta penantian yang  ada di sana
Rindu telah kembali dalam dapur emak
Tak pernah tenggelam pada  malam kelam
Tak pernah berjanji
 Dapur emak memberi harap dan kehidupan
Meyala sepanjang hayat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI