Mungkin muncul dalam benak beberapa, tentang kesan kumuhnya sebuah pondok pesantren, atau sulitnya untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda agama. Aspek-aspek negatif yang membuat seseorang bisa berkeimpulan bahwa konflik tidak bisa dihindari.
Namun, begitu Kanisian mencicipi sedikit norma dan budaya di tempat tersebut, hilanglah bekal itu. Halangan semu yang dibangun oleh isi kepala sendiri hilang saat sebuah percakapan sederhana antarsiswa dan santri dengan "luwes" berjalan. Tidak perlu tentang sesuatu yang dalam.Â
Sebuah topik sederhana: perbedaan kebiasaan mereka dengan Kanisian. Antara yang bekerja di ladang dan beribadah di Masjid dengan yang berkutat di kelas dan menjalani kehidupan di ibukota. Tidak rumit sebenarnya, membangun silahturahmi berharga dengan seberang pihak.
Tidak hanya itu, agenda yang disediakan oleh pondok pesantren selama 3 hari itu membuka perspektif baru di dalam Kanisian. Dari pengajian sampai perladangan. Dari belajar keterampilan dasar membuat olahan-olahan manis untuk diwirausahakan, sampai berjalan ke air terjun segar untuk melepas penat hari. Tiada hari tanpa warna selama ekskursi, jauh dari yang awalnya disangka.Â
Pondok pesantren yang mungkin dicap sebagai tempat yang membosankan seperti institusi pendidikan lainnya, ternyata merupakan tempat semua aspek pembelajaran difasilitasi. Dari pendidikan agama (mengaji dan sholat), ke pendidikan akademis, hingga kewirausahaan.Â
Luluhnya dinding prasangka merupakan langkah pertama yang krusial dalam meraih toleransi dalam diri. Sungguh, pada dasarnya semua bias manusia terhadap satu pihak tertentu disebabkan karena ketidakinginannya melihat realita adanya kawan kita yang serupa, tapi tak sama; adanya asumsi-asumsi buruk tersebut.Â
Sebagai langkah pertama jadi orang yang toleran, perlu untuk mengolah konformitas pikiran tersebut, menjadikannya alat untuk menyangkal diri kita sendiri dari ide-ide yang rasis. Demikian, dengan hilangnya awan-awan asumsi buruk yang menutupi pemikiran rasional, muncullah keinginan untuk berhubungan baik dengan siapapun di lingkungan sekitar.
Titik Kini
Sekarang, ekskursi sudah menjadi kegiatan di waktu lampau. Sebuah sepatah pengalaman dari sekian banyak yang terjadi di SMA. Maka, muncul lagi waktu untuk berhenti sejenak dan melihat kembali. Melihat dan memilah nilai-nilai yang mungkin terkandung di dalam pengalaman ini, selain yang jelas tertera pada tujuan utama kegiatan.
Secara universal, sepertinya ada beberapa keprihatinan dunia ini yang membuat ekskursi menjadi pengalaman yang begitu berharga. Dari data indeks aturan hukum dari World Justice Project (WJP), 70% negara di dunia mengalami permasalahan diskriminasi yang makin memburuk sejak 2021. Entah atas basis ras, kepercayaan, atau sejenisnya.
Bisa disimpulkan bahwa kepentingan ekskursi datang dalam bentuk pola pikir yang berlawanan dengan ide-ide diskriminasi. Mungkin dari pembangunan pendirian kokoh akan toleransi agar jangan sampai mudah didorong oleh pihak-pihak tertentu. Namun, menurut saya, ada pesan lain yang sifatnya lebih lokal daripada konsep yang lebih abstrak seperti itu.