Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indahnya Saling Memaafkan, tapi Lebih Indah Lagi Saling Mengampuni

13 Mei 2021   21:55 Diperbarui: 13 Mei 2021   22:31 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saling memaafkan (Merdeka.com)

Hari ini segenap umat Muslim merayakan hari Raya Idul Fitri setelah berpuasa selama tiga puluh hari. Idul Fitri disebut juga sebagai perayaan kemenangan karena umat Muslim telah menang terhadap segala godaan yang menyesatkan pikiran, perbuatan dan hawa nafsu selama bulan puasa. 

Umat Muslim pantas bergembira dan mengekspresikan kebahagiaan bersama dalam keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakat luas.

Sesungguhnya, kegembiraan ini bukan hanya milik umat Muslim. Kegembiraan juga milik kita bersama, milik bangsa karena Idul Fitri adalah hari raya nasional. 

Maka, segenap bangsa Indonesia pada hari ini turut bergembira, apa pun agamanya, apa pun sukunya. Kita mengisi momen ini dengan bersilaturahmi, bersalam-salaman dan bermaaf-maafan.

Warisan Budaya 

Salah satu perilaku luhur yang secara turun-temurun kita lakukan -- bukan saja dalam momen Idul Fitri melainkan juga dalam momen-momen lain -- adalah memaafkan. 

Kita berjabatan tangan dan mengucapkan "maaf", atau "mohon maaf" (dalam masa pandemi Covid-19 ini kita dianjurkan untuk tidak berjabatan tangan, tapi cukup dengan mengatupkan tangan di depan dada). 

Memaafkan Itu Indah

Memaafkan bisa diungkapkan secara langsung dalam perjumpaan secara individu maupun dalam kelompok. Memaafkan juga bisa diungkapkan melalui media, seperti surat dan media sosial. 

Memaafkan berarti kita menerima kesalahan, kekeliruan orang lain dan melepaskannya dari pikiran dan perasaan kita. Kita hendak membuangnya karena hal itu akan menguras energi negatif dan mengganggu ketenangan hidup kita sendiri.

Memang terkesan indah, elok dan beretika bila kita bisa memaafkan orang lain. Hidup terasa indah. Indahnya saling memaafkan. Indahnya hidup bersama dalam kedamaian.

Beda Konteks, Beda Makna

Waktu telah mengikis makna kata maaf dan memaafkan, Untuk membuktikannya, saya mulai dengan mengartikan kata-kata tersebut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

Ampun artinya pembebasan seseorang dari tuntutan karena melakukan kesalahan atau kekeliruan; maaf. Mengampuni artinya memberi ampun atau memaafkan. 

Maaf artinya pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun. Memaafkan artinya memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya; tidak menganggap salah dan sebagainya lagi.

Tampak bahwa kata maaf, ampun, memaafkan dan mengampuni memiliki arti yang sama dalam KBBI.

Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita menjumpai kalimat-kalimat ini.

  1. Maaf, saya terlambat.

           *Ampun, saya terlambat.

  1. Maaf, ada nyamuk di pipi Bapak.

            *Ampun, ada nyamuk di pipi Bapak.

  1. Maaf, pendapatmu belum bisa saya terima.

            *Ampun, pendapatmu belum bisa saya terima.

  1. Maaf, boleh saya duduk di sini?

            *Ampun, boleh saya duduk di sini?

  1. Sudah menjadi tradisi, setiap malam tahun baru kami sekeluarga berkumpul dan saling memaafkan.

            *Sudah menjadi tradisi, setiap malam tahun baru kami sekeluarga berkumpul dan saling mengampuni.

Kata maaf dan ampun, serta memaafkan dan mengampuni  merupakan dua pasang kata bersinonim. Kesinoniman itu terjadi karena faktor kelaziman pemakaian. 

Kalimat-kalimat yang bertanda asteris/bintang (*) menunjukkan bahwa kata ampun dan mengampuni tidak berterima atau tidak lazim digunakan. 

Contoh-contoh di atas juga memperlihatkan bahwa meskipun bentuknya sama, maknanya  berbeda-beda karena konteks kalimatnya.

  1. Maaf, saya terlambat. (menyatakan penyesalan).

  2. Maaf, ada nyamuk di pipi Bapak. (menyatakan izin)

  3. Maaf, boleh saya duduk di sini? (Menyatakan permohonan)

  4. Maaf, pendapatmu belum bisa saya terima. (menyatakan penolakan)

Apakah seseorang telah melakukan kesalahan sehingga mengucapkan kata maaf dalam keempat kalimat di atas? Tidak! Itu merupakan penanda-penanda sopan santun berbahasa. 

Mengampuni Itu Lebih Indah

Berbeda dengan maaf dan memaafkan,  kata ampun, mengampuni, termasuk juga pengampunan bukan karena spontanitas. Kita bisa lihat dalam kutipan berikut:

  1. Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Matius 6: 14-15).

Kata mengampuni, lebih terarah pada proses introspeksi diri bahwa kita ini manusia lemah. Karena kelemahan itulah kita seringkali terperosok di jalan yang salah, bahkan pada jalan-jalan yang sama. Kita tidak mampu menguasai diri. Kita tidak mampu mengendalikan pikiran dan emosi sehingga menimbulkan perselisihan dalam keluarga, di tempat kerja atau di lingkungan sekitar. 

Kita termakan dengan omongan tetangga yang tidak benar. Atau sebaliknya, menutup kesalahan dengan mendamprat tetangga. 

Demi mencari popularitas diri, kita menyebarkan berita bohong di media sosial. Kita saling mendendam dan saling iri ketika melihat teman mendapat posisi yang lebih tinggi di tempat kerja. 

Kita tidak bersikap realistis sehingga nekad bertindak melawan hukum, seperti mencuri, menjambret dan korupsi. 

Semuanya itu mengakibatkan hidup kita tidak tenang. Kita selalu diselimuti rasa takut. Kita lalu menjauhkan diri dari Tuhan, sumber hidup kita. Maka, kembali dan mendekatkan diri di hadapan Tuhan adalah jalan menuju kebahagiaan.

Melalui refleksi yang mendalam, kita bangkit dari keterpurukan. Kita membuka diri, menyadari segala kesalahan, segala dosa yang pernah kita perbuat, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Memohon pengampunan dari Allah, Pemilik Kerahiman. Kita pun bangkit untuk bermurah hati; mengampuni orang lain yang pernah menyakiti hati kita. Karena dengan mengampuni, kita menyehatkan emosi, memperkuat ketahanan jiwa, memperteguh iman dan mendapatkan kedamaian hidup. 

Tidak hanya sampai di situ. Kita membangun niat untuk memperbaiki diri; tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang sama di kemudian hari. 

Itulah hakikat mengampuni. 

Di situlah letak keindahannya, bahwa mengampuni bukanlah tindakan spontanitas, melainkan sebuah proses pembaharuan diri di hadapan Allah. Maka, marilah kita saling mengampuni, sebagaimana Allah sendiri telah lebih dahulu mengampuni kita.

Jakarta, 1305021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun