Masa sekolah adalah masa-masa yang indah dan penuh kenangan. Setiap hari kita bertemu dengan guru, teman sekelas atau adik dan kakak kelas.Â
Begitu banyak pengalaman yang kita dapat, baik itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Semuanya itu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan selepas kita lulus dan meninggalkan sekolah.
Sebagaimana biasa, tanda berakhirnya pertemuan yang sudah terjalin lama (6 tahun untuk SD, 3 tahun untuk SMA/SMK, tapi ada juga SMK yang 4 tahun) itu, diadakanlah acara perpisahan. Acara ini bisa dilaksanakan di sekolah, bisa juga di luar sekolah. Begitulah, ada pertemuan, pasti ada perpisahan.
Saat ini siswa kelas XII SMA dan SMK sudah mengikuti Ujian Sekolah. Sementara ada SMK yang mungkin belum melaksanakan Ujian Sertifikasi Keahlian (USK) karena pemerintah menjadwalkan USK selama April hingga akhir tahun pelajaran.
Maka, bukan tidak mungkin, siswa atau sekolah sudah berencana untuk mengadakan acara perpisahan sekolah. Namun, sebelum kegiatan itu terjadi pertimbangkan beberapa hal berikut.
Jaminan Kesehatan
Alangkah baiknya sekolah mempertimbangkan kesehatan semua yang akan terlibat dalam acara perpisahan (siswa, guru, tenaga pendidik, dan mungkin orangtua/wali sebagai undangan).
Pandemi Covid-19 masih mengancam nyawa. Apalagi dengan munculnya varian baru, yaitu B117 dan B1617 yang kabarnya lebih menular. Secara teori memang mudah untuk mengontrol pergerakan siswa agar mengikuti protokol kesehatan (prokes). Namun, kenyataan memang lain.Â
Siswa, yang anak-anak remaja ini bisa mencari cela untuk melanggar prokes seperti ngobrol dengan teman tanpa menjaga jarak atau tidak memakai masker.
Alasan Temu Kangen dengan Guru
Satu alasan kuat siswa kelas XII mengadakan acara perpisahan adalah temu kangen. Argumentasinya bahwa selama kurang lebih satu setengah tahun mereka tidak bertemu secara tatap muka dengan guru. Mereka hanya bertemu dengan guru di dunia maya, yaitu melalui sarana sarana belajar seperti Zoom Meeting atau Google Meet.
Sesungguhnya, alasan ini mestinya direspon secara kritis oleh sekolah. Sekolah harus lebih kritis melihat seberapa urgen acara ini dibuat jika dikaitkan dengan situasi pandemi Covid-19.Â
Di sisi lain, bisa saja acara perpisahan ini dipakai sebagai alasan oleh siswa untuk keluar dari "kungkungannya", yaitu berada di rumah dan mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dengan begitu, mereka bisa berkumpul lagi bersama guna melampiaskan rasa kangen, kegembiraan dalam ngobrol dan canda ria.
Gejala Euforia VaksinÂ
Satu persoalan yang saat ini menjadi topik hangat pembicaraan di media sosial adalah euforia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), euforia artinya perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan.Â
Kita hendaknya belajar dari negara India saat ini. India tengah menderita tsunami Covid-19 gelombang kedua. Ribuan warga terpapar Covid-19. Ribuan pula yang meninggal dunia sebagai akibat tidak memadainya fasilitas kesehatan (faskes).Â
Begitu banyak warga terlantar di luar rumah sakit dan akhirnya meregang nyawa. Penyebab utamanya adalah euforia warga negara maupun pemerintah.Â
Perasaan nyaman bahwa mereka sudah berhasil memutus mata rantai penyebaran virus corona membuat negara ini lengah. Mereka mengabaikan prokes dengan melakukan kegiatan-kegiatan massal. Mereka tidak mengantisipasi munculnya varian baru Covid-19 B117 dan B1617.
Kita tentu tidak menghendaki euforia ini terjadi pada masyarakat Indonesia. Namun, kenyataan di dalam masyarakat sudah menjadi indikasi ke arah itu sejak mendapatkan vaksin.Â
Vaksinasi menjadi alasan untuk berkumpul. Padahal, vaksinasi bukan menjadi jaminan bahwa seseorang itu sudah kebal terhadap virus corona. Vaksinasi hanya sebagai tameng.Â
Sebagaimana sebuah tameng, senjata masih bisa menembus dan mengenai seseorang jika ia tidak pandai memakai tameng tersebut. Demikian halnya dengan vaksinasi. Karenanya, biarpun sudah divaksin dua kali, kita tetap menjaga prokes secara ketat.
Dalam hal perpisahan sekolah pun indikasi euforia hadir di sana. Sekolah dan siswa sepakat untuk patuh pada aturan yang dibuat bersama. Guru, siswa, karyawan, dan tamu undangan boleh hadir pada acara kegembiraan itu asalkan mematuhi aturan ini:
Guru dan karyawan sudah divaksin sebanyak dua kali.
Guru dan karyawan yang belum divaksin harus dites swab.
Semua siswa dan tamu undangan harus dites swab.
Siswa boleh hadir jika menyerahkan surat pernyataan persetujuan dari orangtua/wali.
Mematuhi prokes: menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker.
Pertanyaannya, apakah aturan itu benar-benar dilaksanakan? Selain itu, apakah peraturan itu sungguh menjamin bahwa semua peserta akan aman dari kontaminasi virus corona? Inilah dua persoalan serius yang harus menjadi perhatian sekolah.
Sebagai penutup, saya menggarisbawahi, terlaksana tidaknya acara perpisahan sekolah adalah hak setiap sekolah. Akan tetapi, tingkat kontaminasi positif virus corona yang masih tinggi di Tanah Air, serta belajar dari kasus kovid-19 di India, saya menyarankan agar sekolah hendaknya menahan diri untuk tidak melaksanakan acara perpisahan sekolah.Â
Marilah kita menjadikan Covid-19 laksana pencuri yang siang malam mengintai rumah kita. Kapan kita lengah, ketika itu juga harta kita berpindah ke tangannya.
Jakarta, 3004021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H