Wanitaku di garda depan.
Semerbak harapan tak pernah sirnah, membangunkan hasrat,Â
meneguhkan harap, bersama datangnya hari baru.Â
Begitu terang samar-samar tampak dari belahan timur,Â
gairah cinta meluap lalu menopang nadi-nadimu untuk bangkit,Â
kemudian membungkam lembar keluhan dan penat lelah yang selalu menggoda,Â
membujuk rasa ingin meluruskan badan.Â
Berbekal keyakinan teguh pada  kekuatan Illahi,Â
engkau melapangkan dada, membuang iriÂ
pada sesamamu yang masih terbuai mimpi sampai matahari membangunkannya,
lalu berdiam diri di depan layar kacaÂ
sambil meluruskan benang-benang waktu yang dinobatkan dalam kata bekerja dari rumah.
Wanitaku di garda depan.
Menyongsong sang mentari,
 engkau mengayunkah langkah  dalam irama tegap menderu.Â
Di atas jalanan yang tak peduli lekak likuk,Â
enkau  melantunkan musik pengabdian pagi hari.Â
Bersama harmoni cinta tak bertepi, engkau melaju menerobos,Â
seakan tak peduli sisa-sisa embun di jalanan.Â
Aroma pengorbanan seakan menerbangkan sejuta polutan  yang mengincar dirimu.
Wanitaku di garda depan.
Sambil melantunkan syair kemanusiaan, engkau menaburkan keharuman kasih.Â
Rasa manusiawimu melunturkan gerah panasÂ
yang terbungkus dalam pelindung diri,Â
seperti serdadu yang tegap menantang musuh di medan perang.Â
Tubuh-tubuh tak berdaya memelet rasa takut, lalu menjarahmu.Â
Segenap kekuatan dan perhatian ditumpahkan padaÂ
sprei, selang, alat suntuk, catatan riwayat serta ventilator.
Wanitaku di garda depan.
Tarian kebajikan terus mengalir, meliuk-liuk pada lantai dan dinding tak seberapa.Â
Kaki yang mulus mengeras, kaki  yang semampai membengkakÂ
termakan waktu berdiri melawan ragu.Â
Tubuh-tubuh tak berdaya telah menyumbat kesenanganmu meski hanya sesaat.Â
Mata, pikiran serta rasamu dibiarkan teraduk lumatÂ
pada rintihan dan detak-detak jantung yang menghiasi ruang kerjamu.
Wanitaku di garda depan.
Lelah letihmu disembunyikan di balik senyum.Â
Kau berusaha melawan kerapuhan dengan menabur senyum kearifan.Â
Ketika malam tiba, saat kesunyian telah membawamu dalam mimpi,Â
kupandang wajahmu, terpancar ketulusan nurani kasih.Â
Kelelahan telah mewangi dalam nafas pengorbanan yang tak akan sirna dimakan zaman.
Wanitaku di garda depan.
Aku tidak peduli! Â Rambutmu tak seindah rambut yang selalu dibiarkan terurai,Â
bibirmu tak seindah bibir yang dijadikan merona. Â
Hatimu telah disandera oleh Sang Kuasa untuk melupakan kesenangan diri.Â
Engkau adalah karya Illahi yang tumbuh di antara ilalang.Â
Kehadiranmu memberi berkah kehidupan bagi segenap raga yang malang,Â
raga yang saat ini terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit.Â
Kesenanganmu bukannya ditawan oleh virus corona.Â
Kesenanganmu sudah ditawan oleh Sang Illahi, buat menguatkan,Â
buat menumbuhkan harap pada hati yang kehilangan asa.
Wanitaku di garda depan.
Gardamu semakin menyuburkan cintaku.
(Metland Menteng, Cakung, 2704020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H