Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPR RI dan Swedia, Bacaan KS, dan Peradaban

7 Oktober 2024   10:17 Diperbarui: 7 Oktober 2024   10:21 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DPR RI-Swedia, Bacaan KS, dan Kemajuan Peradaban

Kemarin membaca berita mengenai tunjangan perumahan anggota DPR-RI yang baru saja dilantik, anggarannya kisaran 30-50 juta rupiah per anggota per bulan. Berapa banyak anggaran untuk rumah saja? Lima kali dua belas kali 50 juta, tiga milyar rupiah, baru rumah. Belum lagi sejumlah 580 orang, anggran yang luar biasa besar bagi beban negara.

Jangan tanya gaji, anggaran reses, uang sidang, dan seterusnya, membuat mumet sendiri, semua untuk mereka. Kinerjanya jauh dari harapan, padahal diperlengkapi dengan staf ahli dan itu juga anggaran dari negara lagi. Padahal staf itu kan kebutuhan mereka, mengapa harus negara yang menanggungnya.

Eh, hari ini malah membaca, bagaimana anggota dewan di Swedia yang menyatakan diri tidak perlu diberi kemewahan. "Anggota DPR Swedia  Tak Dapat Tunjangan Mobil dan Rumah: Tak Pantas Kami Diistimewakan."      Pernyataan anggota dewan sendiri yang merasa tidak layak memperoleh status khusus itu.

Warganya juga mengatakan hal yang sama," Sayalah yang Gaji Anggota DPR, Saya Tak Lihat Alasan Perlu Beri Mereka Kehidupan Mewah. Warga dan pejabatnya melihat dengan cara yang sama.

Bayangkan apa yang terjadi di sini. Di atas sudah disebutkan, bagaimana Yang Mulia ini menapatkan begitu banyak fasilitas dan kelasnya adalah mewah. Katanya wakil rakyat, namun apa   yang mereka wakili?

Pernah gak mereka tahu betapa repotnya mencari pertalite hari-hari ini? Gak mungkin wong mereka mendapatkan jatah kalau tidak dapat, mereka malak sehingga tidak akan kesulitan bahan bakar. Mereka palingan telponan, atau mungkin malah lagi merayu gadis atau pengusaha siapa untuk mendapatkan keuntungan sendiri.

Pernah tidak mereka itu makan beras hitam impor dari Vietnam? Padahal merekalah yang menentukan bahwa akan impor beras, mereka terlibat di sana, sangat  mungkin bahkan mereka meneken itu untuk mendapatkan keuntungan sendiri atau kelompoknya.

Pernah gak mereka berdesak-desakan di kereta atau bus saat mau ngantor atau mengumpulkan data untuk perjuangan mereka di parlemen? Mana ada, ketika mereka saja dengan sedan mewah, sopir pribadi, dan sering dengan pengawalan polisi. Jalan dibukakan untuk mereka.

Bagaimana mereka mau memperjuangkan aspirasi masyarakat, ketika mereka tidak pernah MERASAKAN, apa yang rakyatnya hadapi setiap saatnya? Apa yang mereka lakukan sama sekali bukan kepentingan rakyat secara nyata, keseluruhan, dan mendasar. Mereka berjuang demi diri dan partainya.

Masalah pada partai.

Rekrutmen asal populer, biasanya artis, banyak di PAN dan Demokrat, ada pengusaha yang hampir semua partai memilikinya, selain sumber dana juga sumber suara. Mereka      tidak salah, yang ngawur adalah partai yang tidak pernah mau kerja keras untuk kaderisasi dengan baik.

Potong kompas dengan artis, pesohor, dan pengusaha. Lihat saja pilkada itu, modelnya instan, pokoknya menang, mau kucing dalam karung yang kudisan asal menjamin menang juga akan diajukan.

Pun dengan  legislator. Lihat saja perilaku dan tingkah mereka, pernah tidak bicara mengenai bangsa, negara, dan masyarakat? Hampir tidak  terdengar, yang ada masalah kekuasaan, partai, dan dirinya.

Penghargaan akan materi

KPK mati-matian, toh ujung-ujungnya sama saja, mereka terjebak dalam pusaran maling ini. Masyarakat harus diedukasi, materi tidak jahat, namun bagaimana mereka melihat keberadaan kekayaan itu secara utuh. Cara mendapatkan kekayaan dan materi itu bagaimana? Sama sekali tidak ada pembedaan di tengah masyarakat kita.

Mau maling, koruptor, rampok, di desa-desa dengan memelihara tuyul, pekerja keras, semua dianggap sama. Mereka yang kaya ini, meskipun buruk cara memperoleh kekayaan  mendapatkan penghormatan  dan privilege. Lihat di jalan-jalan pada akhir pekan berseliweran HD dan moge dengan arogannya, ada pengawalan dari aparat.

Ke mana pengawal ini ketika jalanan macet pada Senin pagi? Hilang tidak ada rimbanya, bisa meraung-raung mengawal orang kaya lagi jalan-jalan.

Budaya Feodal

Suka atau tidak, feodalisme masih begitu kuat. Kekuasaan dan materi menjadi rujukan dan pokok penghormatan. Padahal tidak demikian, jika mau sedikit saja menepikan dan melihat bagaimana kekuasaan dan kekayaan itu diperoleh.

Koruptor tidak akan dibela, calon presiden, gubernur, walikota, bupati, dan calon-calon yang membayar tidak dipilih, mereka akan mati  kehabisan energi. Toh malah sebaliknya, mereka yang menggelontorkan uang dan sembako yang dipilih. Apakah mereka tidak akan mengeruk mencari keuntungan dan balik modal? Jelas  mereka akan mengembalikan apa yang sudah dikeluarkan.

Lah sebenarnya agama menjadi pemutus rantai dan lingkaran setan ini. Tetapi malah   terlibat dengan sangat lekat dan kuat. Terlibat dalam rasionalisasi perilaku tamak.

Harusnya beragama akan membuat orang makin sederhana. Taat aturan, lebih berpikir mengenai orang lain, tidak malah lebih egois. Semua pejabat dan terutama DPR di Indonesia disumpah dan janji dengan agama masing-masing. Tetapi ketika bekerja selama menjadi anggota dewan apakah sudah melakukan tugasnya sebagaimana tuntunan KS?

BPS merilis, bagaimana tabiat atau budaya baca di Indonesia sebesar 69% hanya membaca KS. Buku pengetahuan sangat minim. Tetapi perilakunya tidak berbanding lurus dengan perilakunya. Sumpah dan janji selalu saja menjadi awal dalam melakukan jabatan, setiap acara ada doa dan ucapan salam agamis, namun apa yang dilakukan jauh dari apa yang seharusnya orang beragama lakukan.

Bagaimana kesadaran ini harus dibangun, literasi berbangsa harus digalakkan sehingga tidak hanya menjadi pembeo yang kerdil dalam pengetahuan. Sayang, jika negeri tercinta yang kaya raya ini remuk karena perilaku bodoh yang diseting oleh pihak-pihak tertentu.

Peradabannya malah mundur, tidak maju dan berkembang, karena perilaku yang tersebut di atas. Syukur bahwa masih banyak kelompok dan orang-orang waras.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun