Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Agama, Ada Apa dengan Kalian?

30 September 2024   13:03 Diperbarui: 30 September 2024   13:05 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru Agama, Ada Apa dengan Kalian?

Humanisme Guru Agama itu Penting

Beberapa hari terakhir, media sosial dibanjiri pembicaraan mengenai guru agama. Ada guru agama yang membuat peserta didiknya meninggal karena diminta squat jump, seratus kali yang berujung meninggal. Guru yang lain melempar muridnya dengan kayu berpaku yang akhirnya juga membuat si murid tewas.

Saya hanya relawan untuk mengajar dan mendidik Pendidikan Agama Katolik. Rekan  masa kuliah dan juga guru di beberapa sekolah baru saja mengeluhkan bagaimana memberikan motivasi pada kaum muda untuk tertarik menjadi Guru Agama Katolik.

Jawaban saya, buat pelajaran semenarik mungkin, anak-anak kangen dan menunggu-nunggu momen pelajaran agama, karena menyenangkan dan mendapatkan apa yang mereka harapkan. Selama ini pelajaran agama membosankan, karena pasti ceramah dan diberi wejangan macam-macam. Membosankan.

Kehadiran guru adalah kesaksian. Bagaimana mereka bukan hanya pendidik, apalagi pengajar, namun teladan dalam banyak segi. Terutama, saat ini adalah kedisiplinan, kerapian, dan kemampuan dalam menjadi fasilitator.  Kekayaan ilmunya harus mumpuni, anak-anak sekarang sangat cerdas, kritis, dan jika guru model lama, pasti akan lewat.

Pelajarannya menarik. Nah ini, sering tidak gampang. Konflik kepentingan dan kemampuan antara guru dan murid. Menjembatani hal ini, akan menjadikan pelajaran agama akan menyenangkan.

Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang terjadi paa hari-hari ini, bagaimana guru agama malah menjadi pihak yang seolah menjadi hakim dari surga. Tentu bukan dalam hal mau menghakimi, sebuah opini bagaimana peran guru agama itu penting.

Kisah pertama, siswanya tidak hafal ayat Kitab Suci, dihukum squat jump, 100 kali. Apa sih esensi hafalan? Ingat konteks ini adalah Kristen, bukan Islam yang basisnya hafalan. Sangat naif, ketika P5 didengung-dengungkan, kurikulum Merdeka dengan menjadikan murid adalah pusat, malah siswa meregang nyawa karena hukuman guru.

Kisah kedua, siswa tidak melakukan ritual keagamaan, dilempar kayu berpaku dan meninggal. Miris, bagaimana anak disekolahkan untuk memperoleh bekal hidup, skil, kemampuan, ketrampilan, dan pastinya pengetahuan, eh malah tragis. Meninggalkan karena dihukum.

Kisah ketiga, entah guru agama atau bukan, namun basis pendidikan agama, menguar viral ketika guru dan murid melakukan hubungan badan di sekolah. Peran pendidikan yang mendapatkan amanat untuk menjadi "orang tua" di sekolah, melebihi kewenangannya. Miris.

Belum lagi jika bicara mengenai keadaan sekolah-sekolah berasrama yang banyak melahirkan skandal kekerasan seksual, kebanyakan sekolah berbasis agama. Ingat, ini bukan soal agama apa, namun perilaku guru agama dan sekolah berbasis agama. Tentu saja guru-gurunya pasti lebih tahu mengenai agama.

Guru agama itu bukan wakil Tuhan atau malaikat. Dirinya manusia biasa, hanya saja belajar mengenai agama lebih banyak dari guru-guru matapelajaran lain. Jangan merasa    lebih saleh, lebih suci, dan menjual tiket surga. Sama sekali tidak.

Mereka akan bisa dihormati, dihargai, dan murid respek, jika si guru memang memberikan contoh, teladan, dan ketulusan dalam mengajar dan mendidik. Tidak akan perlu dengan kekerasan dan hardikan untuk anak-anak bisa tertib.

Jangan mengendalikan anak. Kecenderungan pendidik adalah menguasai, makanya ada teknik penguasaan kelas. Hal yang tidak relevan dengan menguasai anak.  Mengatur, mengelola kelas sehingga bisa berjalan dengan baik. Anak sebagai fokus bukan dikuasai, namun dimengerti, ada saling pemahaman di antara murid dan guru.

Sering guru jatuh pada paradigma menguasai, mengendalikan, dan menjadikan anak tertib dengan salah satu andalannya adalah kekuasaan, cenderung akan membuat kekerasan, karena menang-kalah paradigma yang terbangun. Padahal tidak demikian.

Otonomi, wibawa, dan keberadaan guru menjadi penting. Peserta didik akan respek dan mau ikut aturan main  dan kesepakatan bersama lebih mudah. Suasana kebatinan dan relasi guru dan murid yang terjalin baik akan membuat koordinasi mudah. Kekerasan, pemaksaan, dan bahkan sampai menghilangkan nyawa sangat mungkin tidak terjadi.

Kondisi siswa-siswi memang berbeda dengan generasi para guru. Pendekatan pastinya lain. Kadang hal  ini yang tidak disadari, karena menggunakan paradigmanya generasi si guru. Hal ini sering menjadi polemik dan berujung pada kekerasan.

Kesadaran yang harus dibangun, sehingga guru tidak menguasai, relasi kuasa berkurang dan terjalinlah hubungan yang menang-menang. Anak paham kedudukan guru dan sebaliknya guru juga mengerti keberadaan peserta didik dengan sangat luas.

Hal ini akan memudahkan dalam mengajar, mendidik, dan mengelola siswa, sehingga potensi pemaksaan dan kekerasan relatif  bisa terhindarkan. Membangun kesadaran ini juga tugas guru agama.

Guru agama harus lebih humanis, bukan malah seolah wakil Tuhan atau malaikat. Pendekatan kemanusiaan pada peserta didik pastinya kunci dalam menjalin relasi dengan murid lebih baik. Paradigma menang-menang akan lebih mudah tercipta, jika mengedepankan kemanusiaan. Memahami keberadaan siswa dengan utuh.

Humanisme ini yang kadang lepas dari kesadaran guru-guru agama, sehingga mereka lebih fokus pada dogma, ritual, yang membuat anak malah bosan dan meradang, sehingga timbul kekeraskepalaan siswa.

Belum lagi, jika di sekolah perlakuan sistemnya mengutamakan pelajaran-pelajaran ilmu favoritisme. Ilmu agama dikesampingkan. Makin berat tugas guru agama.

Kadang geli ketika melihat guru agama Islam menggunakan peluit dan juga tongkat kecil untuk ngoprak-oprak para siswa masuk ke mesjid karena mau ibadah sholat Jumat. Ketakutan, bukan kesadaran, nanti masih diteriakin lagi menggunakan toa. Siswa dianggap anak kecil, sehingga mereka tidak terima.

Guru agama, sudah seharusnya menciptakan kesukacitaan. Lha mosok agama menakutkan, horor, dan mengerikan. Bagaimana berelasi dengan Tuhan   yang menakutkan demikian bisa terbangun dengan baik dan penuh kesadaran?

Sepanjang di bangku pendidikan belum ada pembicaraan humanisnya guru agama.  Jangan takut peserta didik ngelunjak. Yakinlah ada karya Allah di sana.

Terima kasih dan  salam   

Susy Haryawan

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun