Kisah ketiga, entah guru agama atau bukan, namun basis pendidikan agama, menguar viral ketika guru dan murid melakukan hubungan badan di sekolah. Peran pendidikan yang mendapatkan amanat untuk menjadi "orang tua" di sekolah, melebihi kewenangannya. Miris.
Belum lagi jika bicara mengenai keadaan sekolah-sekolah berasrama yang banyak melahirkan skandal kekerasan seksual, kebanyakan sekolah berbasis agama. Ingat, ini bukan soal agama apa, namun perilaku guru agama dan sekolah berbasis agama. Tentu saja guru-gurunya pasti lebih tahu mengenai agama.
Guru agama itu bukan wakil Tuhan atau malaikat. Dirinya manusia biasa, hanya saja belajar mengenai agama lebih banyak dari guru-guru matapelajaran lain. Jangan merasa   lebih saleh, lebih suci, dan menjual tiket surga. Sama sekali tidak.
Mereka akan bisa dihormati, dihargai, dan murid respek, jika si guru memang memberikan contoh, teladan, dan ketulusan dalam mengajar dan mendidik. Tidak akan perlu dengan kekerasan dan hardikan untuk anak-anak bisa tertib.
Jangan mengendalikan anak. Kecenderungan pendidik adalah menguasai, makanya ada teknik penguasaan kelas. Hal yang tidak relevan dengan menguasai anak. Â Mengatur, mengelola kelas sehingga bisa berjalan dengan baik. Anak sebagai fokus bukan dikuasai, namun dimengerti, ada saling pemahaman di antara murid dan guru.
Sering guru jatuh pada paradigma menguasai, mengendalikan, dan menjadikan anak tertib dengan salah satu andalannya adalah kekuasaan, cenderung akan membuat kekerasan, karena menang-kalah paradigma yang terbangun. Padahal tidak demikian.
Otonomi, wibawa, dan keberadaan guru menjadi penting. Peserta didik akan respek dan mau ikut aturan main  dan kesepakatan bersama lebih mudah. Suasana kebatinan dan relasi guru dan murid yang terjalin baik akan membuat koordinasi mudah. Kekerasan, pemaksaan, dan bahkan sampai menghilangkan nyawa sangat mungkin tidak terjadi.
Kondisi siswa-siswi memang berbeda dengan generasi para guru. Pendekatan pastinya lain. Kadang hal  ini yang tidak disadari, karena menggunakan paradigmanya generasi si guru. Hal ini sering menjadi polemik dan berujung pada kekerasan.
Kesadaran yang harus dibangun, sehingga guru tidak menguasai, relasi kuasa berkurang dan terjalinlah hubungan yang menang-menang. Anak paham kedudukan guru dan sebaliknya guru juga mengerti keberadaan peserta didik dengan sangat luas.
Hal ini akan memudahkan dalam mengajar, mendidik, dan mengelola siswa, sehingga potensi pemaksaan dan kekerasan relatif  bisa terhindarkan. Membangun kesadaran ini juga tugas guru agama.
Guru agama harus lebih humanis, bukan malah seolah wakil Tuhan atau malaikat. Pendekatan kemanusiaan pada peserta didik pastinya kunci dalam menjalin relasi dengan murid lebih baik. Paradigma menang-menang akan lebih mudah tercipta, jika mengedepankan kemanusiaan. Memahami keberadaan siswa dengan utuh.