Kebangkitan Nasional dan Intoleransi yang Makin Marak
Bahagia negeri ini dianugerahi para pendiri bangsa yang paham akan hakikat berbangsa. Tahu akan keberagaman dan kaya akan perbedaan. Salah satu buah itu adalah kesadaran bersatu dengan lahirnya partai politik dan tonggak sejarah berubah dengan adanya Boedi Oetomo. Persatuan dan perasaan sebangsa yang membakar semangat untuk merdeka.
Satu kata kunci yang mendasar adalah persatuan.  Eh kini, usai 116 tahun gagasan  itu terjadi, malah di bulan Mei ini banyak tragedi yang terjadi mengoyak persatuan itu. Pertama didahului dengan pembacokan dan penghentian doa rosario yang sedang dijalani oleh mahasiswa di Pamulang. Ketua RT dan beberapa pemuda membubarkan ibadah dan melakukan kekerasan.
Belum reda pembicaraan itu, gantian  ibu dan keluarganya menghentikan ibadah yang sedang berlangsung. Ternyata si ibu itu ASN. Bisa dibayangkan bagaimana aparatur negara namun memiliki pola pikir sesempit itu.
Dua kisah di atas bukan hanya itu saja. Jika mau menelusuri lebih lanjut, masih demikian banyak. Pembubaran ibadah ini begitu banyak. Belum lagi jika bicara perizinan mendirikan rumah ibadah bagi warga minoritas. Dikit-dikit pelaporan polisi penistaan agama. Penyelesaian juga tergantung siapa pelaku dan siapa yang menjadi korban penghinaan.
Mengapa kini persatuan kog malah seolah rapuh tidak  sebagaimana 116 tahun lampau itu?
Pertama, menguatnya paham ideologis ultrakanan usai reformasi. Konsekuensi logis bahwa kebebasan yang terjadi akibat puluhan tahun adanya pemerintah represif. Eh masih diperparah sepuluh tahun pemerintahan yang menyenangkan semua pihak. Mereka mendapatkan angin segar untuk menancapkan kuku-kuku pengaruhnya.
Hal ini bukan berarti reformasi gagal. Salah satu konsekuensi yang abai untuk diperhatikan. Suka atau tidak, hal ini terjadi dan demikian masifnya dampak yang tidak kecil. Kondisi wajar ketika penegak hukum bisa bertindak dengan tegas dan semestinya.
Kedua, semangat beragama yang keliru. Malah membeda-bedakan, liyan adalah  musuh,  sejatinya keliru. Humanisme, kemanusiaan di atas segalanya. Beda dalam agama, namun satu dalam kemanusiaan. Hal yang makin langka, dikit-dikit menggangu kepentingan umum, penistaan agama. Pada sisi lain hal yang sama terjadi namun dianggap normal-wajar saja. Contoh menutup jalan umum untuk kegiatan keagamaan mayoritas.
Pembubaran tidak akan terjadi jika demikian. Pada sisi    lain, minoritas mengadakan kegiatan keagamaan di rumah sendiri saja dibubarkan, dihentikan jika meminjam istilah kepolisian.  Semangat beragama yang keliru.
Ketiga, penegakan hukum yang sangat lemah. Hal berulang hanya karena sikap penegak hukum yang sangat tidak memberikan dampak. Atas nama damai, ketenangan, sehingga hanya meterai. Namun tidak demikian jika yang membuat ulah adalah minorotas. Bisa dicek sendiri, begitu banyak keanehan penegakan dan sikap penegak hukum.
Jika demikian terus, jangan harap keadaan bisa lebih baik. Yang ada malah balas membalas tanpa ujung. Hukum rimba yang ada.
Keempat. Jiwa kebangsaan yang terkikis oleh egoisme dan fanatisme beragama. Tidak ada yang salah dengan fanatisme beragama. Perlu digarisbwahi, bahwa seharusnya fanatisme itu ke dalam. Jadi militansi ke dalam diri, bukan memaksakan orang lain atau pihak lain itu sama.
Sering gagal dalam memahami agamanya sendiri, namun sok-sokan merasa bisa menelanjangi agama lain. Sikap yang ambigu, ketika suka menyentil namun ngamuk kalau disentil sedikit saja.
Kelima, abai akan Bhineka Tunggal Ika. Hal yang mendasar sebagai bangsa yang majemuk. Perbedaan itu sangat banyak di negeri ini. Ras sudah tidak demikian mengganggu, namun agama malah makin menjadi.
Sikap kebangsaan dan kemanusiaan akan menjadi  tameng yang gede, karena di sanalah ketemunya persamaan sebagai anak bangsa. Hal yang harus dibangun terus menerus.
Keenam. Suka mencari-cari perbedaan. Keseragaman yang begitu masif dipaksakan, membuat sikap batin pun demikian. Sering terjadi  orang tidak siap berbeda, malah terjadi suka mencari-cari perbedaan. Padahal tidak mesti demikian.
Perbedaan itu kodrat kog. Buat apa kudu dicari-cari.
Apa yang mesti dilakukan untuk menjembatani itu?
Satu, perbesar persamaan. Cari persamaan di antara perbedaan. Beda suku, ras, agama, toh sama-sama manusia.  Satu Sang  Pencipta, meskipun nama sebutannya berbeda.
Dua, sadari bahwa negeri ini memang dibangun dari berbagai perbedaan. Begitu banyak bahasa, suku, ras, dan agama, toh menjadi satu Indonesia. Â Ketika hanya mengedepankan perbedaan ya akan selalu demikian, dan itu dimanfaatkan pihak-pihak lain untuk memperlemah.
Tiga, membangun sikap fanatisme ke dalam bukan ke luar. Â Hal yang sering abai disadari dan dibangun dalam hidup bersama.
Empat, bayangkan jika semua sama, apa tidak mboseni dan membuat keadaan jenuh karena tidak adanya perbedaan. Bayangkan mozaik itu jika semua sama, tidak akan ada keindahan dan nilai seninya.
Lima, bangun sikap percaya diri. Lebih banyak menilai diri positif, sehingga tidak melihat liyan, pihak lain  sebagai pesaing dan cemas jika diserang. Tidak akan ada hal itu, hadir sikap takut diserang  itu karena sikap minder dan tidak percaya diri.
Bangsa ini terlalu besar, sayang jika hiruk pikuk karena bertikai dan memperbesar perbedaan-perbedaan. Â Para pendiri bangsa sudah susah payah menyatukan ribuan perbedaan, yang dimanfaatkan penjajah untuk memperlemah. Jangan sampai anak-anak negeri justru ikut mengembalikan keadaan itu lagi.
Toleransi itu bukan bicara kalah menang, namun menang-menang. Jiwa menang itu proses dan perjuangan yang tiada kenal henti. Kebesaran jiwa untuk memberikan  hak kepada sesama yang sama-sama juga memiliki hak.
Egoisme dan fanatisme membuat pemaksaan dan sikap menang kalah yang dikedepankan. Perlu disadari bahwa hal itu tidak layak dipertahankan.Â
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
 Â
Â
Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H