Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebangkitan Nasional dan Intoleransi yang Makin Marak

21 Mei 2024   13:18 Diperbarui: 21 Mei 2024   13:40 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebangkitan Nasional dan Intoleransi yang Makin Marak

Bahagia negeri ini dianugerahi para pendiri bangsa yang paham akan hakikat berbangsa. Tahu akan keberagaman dan kaya akan perbedaan. Salah satu buah itu adalah kesadaran bersatu dengan lahirnya partai politik dan tonggak sejarah berubah dengan adanya Boedi Oetomo. Persatuan dan perasaan sebangsa yang membakar semangat untuk merdeka.

Satu kata kunci yang mendasar adalah persatuan.  Eh kini, usai 116 tahun gagasan  itu terjadi, malah di bulan Mei ini banyak tragedi yang terjadi mengoyak persatuan itu. Pertama didahului dengan pembacokan dan penghentian doa rosario yang sedang dijalani oleh mahasiswa di Pamulang. Ketua RT dan beberapa pemuda membubarkan ibadah dan melakukan kekerasan.

Belum reda pembicaraan itu, gantian  ibu dan keluarganya menghentikan ibadah yang sedang berlangsung. Ternyata si ibu itu ASN. Bisa dibayangkan bagaimana aparatur negara namun memiliki pola pikir sesempit itu.

Dua kisah di atas bukan hanya itu saja. Jika mau menelusuri lebih lanjut, masih demikian banyak. Pembubaran ibadah ini begitu banyak. Belum lagi jika bicara perizinan mendirikan rumah ibadah bagi warga minoritas. Dikit-dikit pelaporan polisi penistaan agama. Penyelesaian juga tergantung siapa pelaku dan siapa yang menjadi korban penghinaan.

Mengapa kini persatuan kog malah seolah rapuh tidak  sebagaimana 116 tahun lampau itu?

Pertama, menguatnya paham ideologis ultrakanan usai reformasi. Konsekuensi logis bahwa kebebasan yang terjadi akibat puluhan tahun adanya pemerintah represif. Eh masih diperparah sepuluh tahun pemerintahan yang menyenangkan semua pihak. Mereka mendapatkan angin segar untuk menancapkan kuku-kuku pengaruhnya.

Hal ini bukan berarti reformasi gagal. Salah satu konsekuensi yang abai untuk diperhatikan. Suka atau tidak, hal ini terjadi dan demikian masifnya dampak yang tidak kecil. Kondisi wajar ketika penegak hukum bisa bertindak dengan tegas dan semestinya.

Kedua, semangat beragama yang keliru. Malah membeda-bedakan, liyan adalah  musuh,  sejatinya keliru. Humanisme, kemanusiaan di atas segalanya. Beda dalam agama, namun satu dalam kemanusiaan. Hal yang makin langka, dikit-dikit menggangu kepentingan umum, penistaan agama. Pada sisi lain hal yang sama terjadi namun dianggap normal-wajar saja. Contoh menutup jalan umum untuk kegiatan keagamaan mayoritas.

Pembubaran tidak akan terjadi jika demikian. Pada sisi      lain, minoritas mengadakan kegiatan keagamaan di rumah sendiri saja dibubarkan, dihentikan jika meminjam istilah kepolisian.  Semangat beragama yang keliru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun