Ketiga, penegakan hukum yang sangat lemah. Hal berulang hanya karena sikap penegak hukum yang sangat tidak memberikan dampak. Atas nama damai, ketenangan, sehingga hanya meterai. Namun tidak demikian jika yang membuat ulah adalah minorotas. Bisa dicek sendiri, begitu banyak keanehan penegakan dan sikap penegak hukum.
Jika demikian terus, jangan harap keadaan bisa lebih baik. Yang ada malah balas membalas tanpa ujung. Hukum rimba yang ada.
Keempat. Jiwa kebangsaan yang terkikis oleh egoisme dan fanatisme beragama. Tidak ada yang salah dengan fanatisme beragama. Perlu digarisbwahi, bahwa seharusnya fanatisme itu ke dalam. Jadi militansi ke dalam diri, bukan memaksakan orang lain atau pihak lain itu sama.
Sering gagal dalam memahami agamanya sendiri, namun sok-sokan merasa bisa menelanjangi agama lain. Sikap yang ambigu, ketika suka menyentil namun ngamuk kalau disentil sedikit saja.
Kelima, abai akan Bhineka Tunggal Ika. Hal yang mendasar sebagai bangsa yang majemuk. Perbedaan itu sangat banyak di negeri ini. Ras sudah tidak demikian mengganggu, namun agama malah makin menjadi.
Sikap kebangsaan dan kemanusiaan akan menjadi  tameng yang gede, karena di sanalah ketemunya persamaan sebagai anak bangsa. Hal yang harus dibangun terus menerus.
Keenam. Suka mencari-cari perbedaan. Keseragaman yang begitu masif dipaksakan, membuat sikap batin pun demikian. Sering terjadi  orang tidak siap berbeda, malah terjadi suka mencari-cari perbedaan. Padahal tidak mesti demikian.
Perbedaan itu kodrat kog. Buat apa kudu dicari-cari.
Apa yang mesti dilakukan untuk menjembatani itu?
Satu, perbesar persamaan. Cari persamaan di antara perbedaan. Beda suku, ras, agama, toh sama-sama manusia.  Satu Sang  Pencipta, meskipun nama sebutannya berbeda.
Dua, sadari bahwa negeri ini memang dibangun dari berbagai perbedaan. Begitu banyak bahasa, suku, ras, dan agama, toh menjadi satu Indonesia. Â Ketika hanya mengedepankan perbedaan ya akan selalu demikian, dan itu dimanfaatkan pihak-pihak lain untuk memperlemah.