Keempat, mengapa baru sekarang dipersoalkan? Siapa yang berani melawan atau membantah Soeharto? Â Â Sekarang LSM, komnas ini dan itu, coba hidup pada masa itu. termasuk di dalamnya para penceramah abal-abal itu. Hilang dari peredaran.
Konteks inilah saatnya membenahi apa yang masa lalu dibelokkan demi kepentingan pihak-pihak tertent, baik individu atau kelompok. Saatnya yang baik untuk melihat sejarah lebih baik lagi.
Waktunya juga untuk berani lebih jernih, jujur, dan rendah hati untuk mengevaluasi kisah kelam G-30 S. Begitu banyak tanda tanya dan keadaan yang tidak konsisten di sana. Begitu banyak yang merasa semua adalah korban, namun tidak ada yang merasa bahwa juga adalah pelaku.
Pembunuhan dengan sangat masif, suka atau tidak, banyak pihak itu korban dan juga sekaligus pelaku. Siapa membunuh dengan dasar apa, hanya karena berbeda afiliasi politik, beda ideologi, apakah sudah ada pengadilan yang setara?
Jika peristiwa 49 saja bisa direvisi, saksi mata sudah sangat sedikit  yang masih jernih memberikan kesaksian saja bisa. Paling banter adalah sudah pihak kedua, anak keturunan dari para pelaku, salah satunya sri Sultan HB X. Apalagi peristiwa 65 yang jelas sangat banyak baik pelaku sebagai korban atau pelaksana tindakan waktu itu. Anak-anak korban dan pelaku  masih sangat segar ingatan dan keadaannya.
Masih ditambah juga rekaman-rekaman peristiwa masa 65 jelas jauh lebih banyak dari peristiwa Serangan Umum, 1 Maret 1949. Saatnya bersama-sama rendah hati, jujur, dan terbuka memeriksa diri. Â Syaratnya adalah,
Pertama, lepaskan egosektoral. Salah satu yang sudah mampu adalah Agus Widjoyo, salah satu putera pahlawan revolusi yang bisa bergandengan tangan dengan putera-putera tertuduh, Â anak eksPKI. Â Jika puteranya saja bisa, apalagi yang tidak.
Kedua, kejujuran dan keberanian mengaku ikut menjadi pelaku, bukan semua korban. Siapa saja yang terlibat dalam upaya penyelesaian pada 65 lalu. Semua tanpa kecuali, tanpa mengedepankan diri sebagai korban saja. Namun juga mengaku bahwa keliru ikut dalam pembantaian berdarah-darah.
Selama ini tidak pernah ada sikap demikian. ketakutan dikomuniskan. Apalagi masih banyak yang memang menggunakan stigma PKI dan komunis untuk mendiskreditkan pihak yang lain dengan labeil hantu ini.
Ketiga, keberanian. Ini sangat tidak mudah, pemuja Orba masih banyak, belum lagi yang mabuk agama. Mereka ini sangat mudah diprovokasi untuk mengatakan komunis dan bisa berkembang ke mana-mana. Mabuk agama, kadang agamanya sendiri saja tidak jelas, namun getol merasa plaing agamis dan religius.
Dua aspek ini yang membedakan dengan Serangan Umum 1 Maret dengan G-30 S. Â Kaum mabuk agama sangat mudah diprovokasi untuk ikut genderang pemuja Orba yang mau berlindung di balik tembok. Merasa diri baik dan suci.