Revisi Sejarah Serangan Umum 1 Maret, Menanti Perbaikan Kisah G-30 S
Menarik apa yang menjadikan 1 Maret sebagai Hari Kedaulatan Negara. Â Keppres Penegakan Kedaulatan Negara salah satu poin penting yang menjadi polemik adalah hilangnya peran sentral Soeharto, dalam kisah sejarah 1 Maret 1949 itu. Para pendukung Orba yang salah satunya paling getol, Fadli Zon sampai ngamuk.
Apa yang terjadi, sehingga nama Soeharto "lenyap" tidak sebagaimana yang digembar-gemborkan era lampau itu? Apakah ini permainan politik dan sejarah itu ada di tangan pemenang. Beberapa hal layak dilihat:
Pertama, Jokowi melihat rekam jejaknya tidak demikian. Lihat  apa yang ia perlihatkan pada rival politiknya, Prabowo dan Sandi masuk dalam kabinetnya. Padahal jelas-jelas itu lawan dalam pilpres. Dalam masa kampanye juga luar biasa apa yang kubu mereka lakukan. Toh tidak menghalangi kebersamaan bagi nusa dan bangsa.
Fakta lain, penghargaan pada oposan luar biasa, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Â Benar, ini kapasitas sebagai presiden dan mantan pimpinan dewan. Toh sangat mungkin jika membuang nama Soeharto, bisa juga menghilangkan mantan pimpinan DPR untuk memperoleh penghargaan.
Kedua, posisi Soeharto ya memang bukan siapa-siapa waktu itu. ada Jenderal Soedirman, ada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Menhan, jelas presiden dan wapres, Sukarno-Hatta, meskipun dalam pembuangn tetap berperan sangat penting.
Keberadaan Soeharto sekadar penanggung jawab, salah satu bagian dari Jogyakarta. Artinya banyak yang setara dengan dirinya. Dia bukan satu-satunya. Di sinilah, peran itu tidak hilang, atau lenyap, namun memang tidak cukup signifikan.
Keberadaan Soeharto yang seolah sentral masa lalu itu yang tidak semestinya. Nah Keppres ini malah lebih tepat, mengembalikan posisi pada yang semestinya.
Ketiga, kalau tidak salah, Soeharto masih letkol, artinya masih ada kolonel dan jenderal yang demikian banyak pada masa itu. kalau zaman sekarang, letkol sekelas dandim atau  danyon, masih memiliki banyak atasan. Mana mungkin memiliki kemampuan dan kekuasaan sekelas panglima TNI?
Kapasitasnya tidak cukup memiliki garis komando dan koordinasi, jika itu MenHan HB IX masih sangat mungkin.
Keempat, mengapa baru sekarang dipersoalkan? Siapa yang berani melawan atau membantah Soeharto? Â Â Sekarang LSM, komnas ini dan itu, coba hidup pada masa itu. termasuk di dalamnya para penceramah abal-abal itu. Hilang dari peredaran.
Konteks inilah saatnya membenahi apa yang masa lalu dibelokkan demi kepentingan pihak-pihak tertent, baik individu atau kelompok. Saatnya yang baik untuk melihat sejarah lebih baik lagi.
Waktunya juga untuk berani lebih jernih, jujur, dan rendah hati untuk mengevaluasi kisah kelam G-30 S. Begitu banyak tanda tanya dan keadaan yang tidak konsisten di sana. Begitu banyak yang merasa semua adalah korban, namun tidak ada yang merasa bahwa juga adalah pelaku.
Pembunuhan dengan sangat masif, suka atau tidak, banyak pihak itu korban dan juga sekaligus pelaku. Siapa membunuh dengan dasar apa, hanya karena berbeda afiliasi politik, beda ideologi, apakah sudah ada pengadilan yang setara?
Jika peristiwa 49 saja bisa direvisi, saksi mata sudah sangat sedikit  yang masih jernih memberikan kesaksian saja bisa. Paling banter adalah sudah pihak kedua, anak keturunan dari para pelaku, salah satunya sri Sultan HB X. Apalagi peristiwa 65 yang jelas sangat banyak baik pelaku sebagai korban atau pelaksana tindakan waktu itu. Anak-anak korban dan pelaku  masih sangat segar ingatan dan keadaannya.
Masih ditambah juga rekaman-rekaman peristiwa masa 65 jelas jauh lebih banyak dari peristiwa Serangan Umum, 1 Maret 1949. Saatnya bersama-sama rendah hati, jujur, dan terbuka memeriksa diri. Â Syaratnya adalah,
Pertama, lepaskan egosektoral. Salah satu yang sudah mampu adalah Agus Widjoyo, salah satu putera pahlawan revolusi yang bisa bergandengan tangan dengan putera-putera tertuduh, Â anak eksPKI. Â Jika puteranya saja bisa, apalagi yang tidak.
Kedua, kejujuran dan keberanian mengaku ikut menjadi pelaku, bukan semua korban. Siapa saja yang terlibat dalam upaya penyelesaian pada 65 lalu. Semua tanpa kecuali, tanpa mengedepankan diri sebagai korban saja. Namun juga mengaku bahwa keliru ikut dalam pembantaian berdarah-darah.
Selama ini tidak pernah ada sikap demikian. ketakutan dikomuniskan. Apalagi masih banyak yang memang menggunakan stigma PKI dan komunis untuk mendiskreditkan pihak yang lain dengan labeil hantu ini.
Ketiga, keberanian. Ini sangat tidak mudah, pemuja Orba masih banyak, belum lagi yang mabuk agama. Mereka ini sangat mudah diprovokasi untuk mengatakan komunis dan bisa berkembang ke mana-mana. Mabuk agama, kadang agamanya sendiri saja tidak jelas, namun getol merasa plaing agamis dan religius.
Dua aspek ini yang membedakan dengan Serangan Umum 1 Maret dengan G-30 S. Â Kaum mabuk agama sangat mudah diprovokasi untuk ikut genderang pemuja Orba yang mau berlindung di balik tembok. Merasa diri baik dan suci.
Rekonsiliasi akan membuat keadaan lebih baik. Tidak akan ada lagi prasangka dan kecurigaan yang sangat mungkin menjadi bahan provokasi. Afrika Selatan jauh lebih maju dalam hal ini, karena kehendak baik untuk mau memperbaiki keadaan. Saling berangkulan sebagai sebuah bangsa.
Miris memang bangsa ini masing sangat mudah diprovokasi karena terjajah sekian lama dengan pola pecah belah, yang dipelihara elit negeri ini untuk merampok bangsa sendiri. Toh tidak boleh pesimis, masih ada kesempatan dan itu perlu keyakinan baik.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H