Dilema Fadli Zon
Nama ini masuk trending di media sosial. Jadi lupa ada nama dia di tengah polemik macan mengeong, antara Edy Mulyadi dan Prabowo. Cukup menarik, karena reputasi Fadli Zon dalam percaturan politik negeri ini. Berdiri di antara kepentingan siapa, Prabowo itu ketua umum Partai Gerindra, yang menaunginya. Atau bersama Edy Mulyadi yang sudah biasa bersama-sama dalam banyak isu.
Edy Mulyadi tentu saja lebih riskan berdiri bersamanya. Siapa makan nangka, siap kena pulut. Sama juga Fadli Zon akan enggan dekat dan membela Edy Mulyadi. Jadi sangat mungkin tinggal tetap bersama Prabowo. Tidak susah sih bagi model Fadli Zon.
Mengapa dilema?
Berkali ulang, Fadli Zon itu bersorak demi menyudutkan pemerintah. Nah, kali ini kan bahan dan pelaku menyerang pemerintah, namun sekaligus juga memperolok Prabowo. Naah dilematis tentu saja. Ini momen krusial yang penting   dan gede untuk menjadikan pemerintah bulan-bulanan.
Mengenai kematian laskar FPI, ada korelasi keduanya. Bagaimana Fadli Zon  meminta Polri mengungkap dalam kematian laskar yang sedang bertugas mengawal Rizieq Shihab dan berhadapan dengan polisi. Posisi dia pada komisi I yang membidangi pertahanan dan juga Prabowo sebagai Menteri Pertahanan Indonesia.
Lihat, bagaimana posisi  polikus Gerindra itu malah berhadap-hadapan dengan pemerintah. Ada sebuah upaya bahwa pemerintahlah di balik kematian anggota ormas terlarang itu. Mosok ia tidak tahu kalau ormas sudah dibekukan.
Ia juga menilai kematian pengawal pentolan FPI yang sedang melarikan diri itu sebagai pelanggaran HAM berat. Bandingkan dengan perilaku bar-bar era Orba? Ke mana saja Fadli Zon selama Orba?
Edy Mulyadi padahal membuat video di mana laskar FPI bentrok dengan polisi. Sempat ramai menjadi perbincangan karena seolah-olah polisi itu membunuh laskar FPI dengan brutal, namun pemeriksaan yang bersangkutan tidak bisa terlaksana dengan berlindung UU Pers.
Berita dan desas-desus menjadi liar, sehingga Komnas HAM juga ikut turun. Ada Fadli Zon dan Edy Mulyadi yang ada sisi yang seiring sejalan. Â Â
Hal yang sama mengenai IKN Nusantara, Fadli Zon dengan garang mengatakan lebih baik nama Jokowi dari pada Nusantara. Â Hal yang bertolak belakang dengan keberadaan Prabowo sebagai Menhan yang akan menjadi salah satu pionir perpindahan kantor birokrasi ibu kota.
Mengenai nama Ahok yang santer diperbincangkan publik , Fadli Zon juga bereaksi. Biasalah, namanya juga politikus yang biasa gaduh tanpa isi.
Menarik menantikan sikapnya yang biasa reaktif dalam banyak isu dan kejadian. Mengenai kucing dan macan mengeong ini seperti apa. Nampaknya sih Fadli Zon kali ini akan diam dan pura-pura tidak mendengar. Â
Mengapa demikian?
Mengenai Edy Mulyadi sekarang orang akan menjauh dari pada kena pekatnya getah nangka. Yang di sampingnya kala konpres saja sudah ngeles, Azam Khan yang menyebut monyet takut duluan lha apalagi Fadli Zon.
Tidak mendapat keuntungan mau politik atau afiliasi apapun dengan berpihak pada Edy Mulyadi. Ia akan bersama Prabowo. Tentu saja tanpa bersikap.
Prabowo tetap menguntungkan bagi karir politik  mantan wakil ketua DPR Ri periode lalu ini. bersama Gerindra namanya melambung dan menjadi pimpinan dewan. bersama Edy Mulyadi tentu tidak mendapatkan apa-apa.
Pelaporan dari berbagai-bagai daerah mengenai penyebutan macan mengeong jelas membuat Edy Mulyadi menciut nyalinya. Mana mau Fadli Zon menamengi kader-kader koleganya menghadapi pihak yang tidak ada apa-apanya.
PKS yang pernah menjadi partai di mana Edy Mulyadi maju sebagai calon legislatif saja sudah angkat tangan dan menyatakan diri bukan sebagai kader mereka. Apalagi orang luar.
Sempat ada pembelaan dari Tifatul Sembiring, toh dicabut. Artinya Edy Mulyadi sudah sendirian. Tidak ada lagi pihak yang  bersamanya dengan cukup signifikan.
Pemuka Sundapun sudah angkat bicara mengenai penggunaan udeng Sunda dalam konpres yang bernuansa rasis itu. Tidak mau  mereka digunakan sebagai alat kampanye buruk. Artinya, bisa juga ada pelaporan penodaan adat istiadat dalam aksi tidak baik.
Kesalahan Edy Mulyadi dalam menyatakan pendapatnya adalah,
Maunya adalah bola salju yang akan menggelinding dan bisa terjadi kerusuhan yang melibatkan antaretnis atau suku. Pada tahun 98 bisa terjadi karena pergerakan dari dalam pulau Kalimantan. Keterlibatan orang atau lembaga yang kompeten untuk menciptakan situasi demikian jelas gede.
Kini, alasan untuk itu sangat minim. Ekonomi baik-baik saja, benar pandemi membuat keadaan tidak sebagaimana mestinya. Namun dibandingkan 98 keadaan jauh bertolak belakang. Â Padahal paling gampang marah itu orang lapar.
Keberadaan internet dan alat komunikasi sudah sangat canggih. Rekam jejak yang berbicara dengan cepat ditemukan dan bagaimana reputasinya. Alasan untuk mengikuti alur pikirnya menjadi sangat lemah. Menjadi bumerang karena memang tidak sebagaimana fakta yang ada.
Persoalan politik juga sudah seia sekata. Berbeda jika ada tiga atau empat fraksi, salah satu atau dua itu partai gede. Misalnya Gerindra dan Golkar mengatakan tidak, pernyataan Edy Mulyadi akan menjadi sebuah momentum yang tepat.
Fadli Zon akan melipir tidak menanggapi mengenai macan mengeong. Aman dan damai dengan lebih gencar soal Ahok.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI