Beruntungnya Shin Tae Yong
Penggemar bola Indonesia begitu rindu juara. Kelas regional saja begitu bungah. Baru lolos semifinal saja sudah girang. Apalagi kini masuk final. Wajar sih melihat eforia yang ada. Benar bahwa permaiman anak-anak timnas Indonesia kali ini belum semeyakinkan era Riedle.
Toh kala itu kalah di final, padahal pada babak penyisihan grup Malaysia dibantai tanpa ampun. Desas-desus bicara soal mafia dan penjualan kemenangan. Selain itu  model pamer dan membawa pemain timnas ke mana-mana di luar urusan sepak bola menjadi-jadi.
Pandemi membawa berkat dan keuntungan bagi Shin Tae Yong. Coba tidak ada pandemi, bisa-bisa pemain timnas usai masuk final sudah diarak ke mana-mana. Elit, apalagi yang kebelet nyapres sudah ngundang dan makan bareng, kemudian dijadikan baliho.
Para penompleng man mau tahu kalau pemain menjadi loyo, lepas fokus, dan berujung kekalahan. Mau menang dari mana kalau asyik pada hal di luar pertandingan. Pola makan kacau, istirahat yang tidak cukup, dan latihan tidak sesuai porsi kepentingannya.
Wajar sih masyarakat dan penggemar berat timnas eforia. Jangan kemudian dikatakan lebay dan berlebihan. Itu bebas, ekspresi kerinduan. Ada yang merasa pesimis karena pola berulang ya silakan, tanpa perlu memaksakan pendapatnya harus dipahami dan diterima pihak lain.
Usia semifinal. Di mana Indonesia menang susah payah melawan sembilan pemain singapura, bertebaran sindiran, ledekan, dan juga hinaan. Di mana melawan pemain tidak lengkap saja kedodoran, ngarep final. Padahal bisa diubah, bagaimana susah payah menang itu masih bisa berlanjut untuk momen final.
Thailand jauh lebih solid, karena memang timnas senior, berbeda dengan timnas Garuda yang berusia jauh lebih muda. Ini adalah kesempatan, jarang pelatih berani bertaruh. Bukan fokus pada juara dan piala, namun proses dan kematangan bermain.
Hasilnya terlihat kog. Fisik pemain. Bagaimana pemain memiliki stamina yang baik. Bermain 90 menit masih relatif segar, 120 pun masih mampu berlari dan menyerang. Bandingkan dengan yang sudah-sudah.
Mental juang juga bagus. Ketinggalan itu biasa, tidak menjadikan grogi dan buyar semuanya. Lihat melawan Singapura bisa tenang, termasuk mampu menggagalkan pinalti. Jika mental buruk sudah selesai. Toh malah menang dua gol.
Menghadapi pertandingan, sikap pada wasit juga membaik.  Keputusan kontroversial mereka cukup tenang. Padahal di klub mereka seperti apa bisa dipahami kan, pemain dan klub sangat buruk  tabiatnya. Mengeroyok wasit sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Keberuntungan atau Perjuangan
Entah penyakit apa bangsa ini, sedikit-dikit pro dan kontra, saling hujat dan maki. Entah sampai kapan bisa berakhir dan bisa lebih adem. Memang sih, politikus yang menjadikan dikotomi dan dikit-dikit berantem, berimbas ke mana-mana.
Pertandingan melawan Singapura bukan sebuah keberuntungan. Kerja keras 120 menit yang layak mendapatkan hasil positif seperti itu. Â Bagaimana mereka bertahan dan menyerang demi meraih hasil baik, dan itu benar-benar terjadi.
Menggagalkan pinalti jelas titik balik. Kalau masuk selesai, ketika diblok, ya sudah Singapura yang makin terpukul. Hasilnya sudah diketahui dan itu modal untuk pertandingan nanti malam.
Kartu merah untuk pemain negeri singa juga sudah semestinya. Pelanggarannya jelas kog. Bandingkan kiper Thailand yang melanggar pemain lawan jauh di luar kotak pinalti dan didiamkan wasit. Cek sendiri di mana-mana ada potongan video itu.
Apa yang kudu dilakukan di final
Nah ini menjadi penting. Jika bermain seperti melawan sembilan pemain Singapura tentu sangat berat. Thailand sangat solid, karena mereka timnas senior yang sudah sangat sering tampil. Mereka juga jago memprovokasi permainan, apalagi timnas Indonesia masih terbilang muda. Masih brangasan.
Sisi nonteknis seperti pengalaman-pengalaman lampau sudah terminimalisasi karena pandemi. Jangan sampai politikus, elit-pejabat, dan para pemain cari muka bisa mendapatkan akses untuk membuat timas buyar konsentrasinya.
Posisi ini lho yang sering membuat timnas itu gagal. Secara teknis, kemampuan, dan daya juang sebenarnya tidak kalah jauh-jauh amat dengan Vietnam dan Thailand. Mengenai sisi nonteknis yang ngribeti.
Mental kalah sebelum bertanding sudah jarang mendominasi. Melawan Vietnam, suka atau tidak, mereka sudah meninggalkan tim nasional selama ini. Toh bisa seimbang. Melibas Malaysia dan Singapura itu sudah prestasi. Padahal dulu, mendengar nama Vietnam saja sudah keder.
Melawan Thailand perlu sikap yang sama. Bagaimana menang dan kalah itu tidak yang utama, yang penting jangan kalah duluan sebelum bertanding.
Pernyataan pelatih, bahwa perlu bermain keras dan lugas itu penting. Hati-hati bisa jadi bumerang. Â Kapasitas timnas bisa kog. Sudah sampai final, saatnya maju terus dan juara. Enam kali ini, mosok akan sama dengan lima edisi sebelumnya.
Mental juara pelatih itu membantu. Ia pernah membawa Korsel di gelaran lebih gede, piala dunia. mengirim Jerman balik kandang, tentu sebuah prestasi. Korsel dan Jerman itu belum sepadan jika berbicara prestasi. Toh semuanya bisa.
Bola itu bundar layak diyakini. Timnas memang tidak superior namun tentu bisa. Potensi-potensi muda yang diasuh juru taktik jitu yang mumpuni.
Layak ditunggu untuk malam nanti dan dua hari kemudian. Edisi sudah lama tidak nonton sepak bola.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H