Pendapatan DPR Menurut Krisdayanti dan Masa Tua Atlet
Beberapa hari ini ramai pada lini massa media sosial terutama mengenai pendapatan anggota dewan yang fantastis. Salah satunya adalah dana pensiun sampai seumur hidup. Woow dan  menggiurkan, pantas saja banyak yang berebut.
Sore ini ada artikel yang menayangkan kisah pilu mantan atlet nasional. Kisah yang sering terdengar, bagaimana perjuangannya pada masa jayanya dielu-elukan, namun terlupakan seiring waktu apalagi sudah pudar. Selengkapnya di sini Â
Kadang mereka ini sangat berprestasi, mengharumkan nama bangsa dan negara. Memang, sejak Asian Games yang lalu, sudah jauh berbeda. Tetapi toh masih banyak yang merasakan kepiluan hidup dan masa tua mereka.
Padahal pada masa muda mereka habis untuk latihan, bertanding, dan kadang tidak mempersiapkan diri untuk pendidikan dan mempersiapkan masa tua mereka. Memang ada yang sukses menjadi pelatih, namun berapa banyak yang terpuruk?
Negara hadir.
Beberapa opsi untuk memberikan penghargaan pada atlet-atlet berprestasi adalah menjadi ASN, sebagai bekal usai usia emas mereka meredup dan bekal masa senja mereka. Persoalannya adalah, era siapa saja yang pemerintahannya peduli seperti ini. Tidak usah  ditulis dari pada baper.
Plus, pada masa lalu, gaji ASN sangat tidak layak, kadang menolak karena biasa mendapatkan hadiah dari sponsor, usang saku dari negara, dan juga hadiah kemenangan yang cukup gede. Mereka lupa ketika sudah usai dari itu semua.
Bonus yang cukup siginifikan. Ini kadang tidak semua atlet cukup beruntung mendapatkan hadiah dari negara atas medali yang mereka peroleh. Toh banyak pula atlet yang hanya kelas menengah, mereka ini sama juga kehilangan masa mempersiapkan masa tua.
Toh kita tahu dan paham, bagaimana negeri ini memperhatikan warganya. Lha yang berjasa saja kadang terlupakan. Ingat apa yang Taufik Hidayat teriakan? Apakah itu salah? Tidak juga, namun itu bagian dari garis tangan bagaimana waktu ia berprestasi, perhatian itu tidak cukup  gede sebagaimana sekarang.
Wajar sih, apalagi atlet-atlet masa lampau. Ingat keadaan Ellyas Pical, dan kalau mau mengulik masih banyak lagi tentu saja. Mereka sangat mungkin melihat dengan mata sedih, bukan saja pilu. Mereka tidak mendapatkan penghargaan yang sama.
Bisnis, sebagaimana pasangan Alan-Susy, Finarsih dengan toko Fina Sport, atau Arbi B. Wiranata yang beralih warga negara karena melatih di luar negeri. Ada pula banyak pebulutangkis biasa saja menjadi pelatih top. Toh ini berkaitan juga dengan bakat.
Pelatih juga berapa banyak sih yang sukses menjadi pelatih, apalagi pemain sepak bola yang demikian banyaknya. Bisa jadi beralih menjadi apa saja, asal bisa menghidupi diri dan keluarga.
Dewan
Semua tentu juga paham. Bagaimana  prestasi mereka. Capaian  yang ada hanya berkutat pada diri, golongan atau partai mereka. Kekuasaan, uang, dan kepentingan di atas bangsa dan negara. Masih juga maling. Apakah ini asumtif? Enggak juga, cek saja, minimal dengan target sendiri saja sudah gagal, alias gagal total.
Mau mereka luar biasa. Gaji gede, sidang melompong, baik datang atau tidak sama saja tidak ada isinya.
Pengakuan gaji gede dewan ini memperpanjang kengacoan, kalau tidak mau disebut negeri sakit. Bagaimana yang tidak memiliki capaian, prestasi, seperti mayoritas anggota dewan ini, namun mereka bergaji gede, mendapat fasilitas kelas wahid, tunjangan yang entah apalagi namanya, pensiun pula. Bandingkan dengan atlet misalnya.
Lihat juga bagaimana para birokrat dan pejabat bekerja. Ahok, Jokowi, Risma, atau pejabat level daerah. Selalu saja diganggu oleh pihak-pihak yang terganggu kepentingannya. Ribet dan ribut terus ketika bekerja.
Apakah pernah terdengar bagaimana masa SBY memimpin ada yang teriak ganti SBY tukang utang dan ragu, mangkrakkan banyak proyek? Tidak ada. malah Jokowi yang melanjutkan dikatakan jangan mangkrak. Yang koplak siapa coba?
Rentetan keanehan lain, bagaimana bekas maling mau jadi duta antimmaling. Juga ada predator anak mau masuk tipi agar menjadi duta bahaya predator anak. Menambah deretan amat panjang urusan perdutaan dari tokoh-tokoh ngaco.
Bangsa ini bangsa yang besar, tidak kurang orang baik, pinter, berprestasi, dan otak moncer. Hanya saja banyak yang tukang iri, dengki, dan model takut bersaing. Model-model ini hanya akan menyasar orang yang bekerja keras dengan ocehan mereka yang sejatinya pengin namun enggan berusaha.
Tabiat buruk ini kalau tidak disadari sangat merusak. Masalahnya adalah, karakter buruk ini dimainkan penjajah dan dipelihara oleh pengganti penjajah itu oleh pemimpin negeri ini yang sama tamaknya dengan imperialis. Musuhnya adalah bangsa sendiri, seperti kata Bung Karno.
Elit negeri ini tamak, sehingga tidak suka ada pengganti yang mencerdaskan bangsa dan negara. Karena, jika anak negeri ini cerdas dan sadar, ketahuan borok mereka yang membusuk dipoles dengan kata-kata indah.
Munafik, mau enaknya sendiri, dan selalu mengatasnamakan rakyat kecil, kemiskinan, tapi mereka kaya, tidak tahu merasakan susahnya mencari sesuap nasi untuk hidup. Mereka hanya membual. Lha pakaiannya saja mahal, makan di tempat terpilih, kog bicara kemiskinan, kelaparan lagi. Yang lapar itu mereka yang rakus karena kurang terus.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H