Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adat Baduy dan Demokrat Tidak Tergiur Pemilih Jokowi

18 Agustus 2021   20:02 Diperbarui: 18 Agustus 2021   20:05 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi dan lagi kader dan simpatisan atau yang berafiliasi pada Demokrat, terkena dugaan penghinaan suku atau ras. Maksudnya sih menghina Presiden Jokowi, apadaya terlalu bersemangat malah mengena juga pada sikap rasisme.

Dugaan penghinaan pada presiden tidak akan berpanjang kali lebar. Selain unsur politis, mereka juga paham, Jokowi tidak akan ribet dengan urusan sepele seperti itu. Berbeda, ketika orang sudah jenuh dengan berbagai trik oposan yang begitu-begitu saja, eh malah melebar pada rasialis. Ini serius.

Lepas dari apa yang dilakukan seorang mantan jurnalis dan medianya, jauh lebih menarik adalah apa yang melibatkan kader dan simpatisan Demokrat. Lepas bahwa mereka keceplosan atau memang demikian, namun ada paling tidak, tiga hal yang menjadi bumerang bagi Demokrat sendiri.

Pertama, tudingan pada buzzer. Pihak istana sebaiknya membubarkan buzzer. Padahal ini adalah "pembela" jelas pemilih Jokowi, dan itu jumlahnya sangat besar. Sayang mereka dijadikan sasaran tembak, padahal ini potensial dirangkul untuk menjadi pemilih bagi Demokrat atau AHY.

Kelompok yang dituding sebagai buzzer ini kebanyakan nonpartisan. Nah Demokrat juga tidak memiliki pemilih militan. Sebenarnya klop, namun malah sudah ada pada posisi bersebrangan. Permusuhan justru dari kubu Demokrat lebih dulu.

Kedua, makar, tudingan pada istana dan Moeldoko mengudeta AHY pada awal tahun lalu, malah pada pertengahan tahun Demokrat, paling tidak melalui elit mereka mendengungkan kegagalan Jokowi mengatasi pandemi. Ganti saja dan sejenisnya. Nah, ini lagi-lagi membuka perselisihan pada pemilih Jokowi yang pada 24 nanti sangat terbuka menjadi pemilih potensial bagi AHY atau Demokrat.

Narasi yang disampaikan susah dilupakan, terutama para elit Demokrat, sayang malah tiba-tiba PN Jakarta Pusat menolak gugatan kubu AHY. Semua sudah mereda dan memainkan narasi lain, eh malah diingatkan kembali.

Maunya sapu bersih, dan semua harus takluk pada AHY, ternyata tidak demikian. Pelarangan penggunaan atribut malah bisa menjadi bencana yang lebih gede.  Soal mau menang-menange dhewe.

Ketiga, terbaru. Beberapa pihak, kader, elit, atau mantan Demokrat mengolok-olok, dan malah cenderung menghina Jokowi dengan pakaian adat dan daerah. Malah sayangnya jatuh pada perilaku rasial.

Asli mereka maunya merendahkan Jokowi, apa daya, sikap  kritis mereka menjadi bumerang dan menghajar mereka sendiri. Mau baju Baduy atau baju adat Lampung menjadi bahan pergunjingan yang sebenarnya tidak mutu.

Apa yang dilakukan kader dan elit Demokrat itu menjauhkan potensi limpahan pemilih Jokowi. Selama ini, mereka asyik menyerangbak babi buta pada Jokowi. Padahal bukan kompetitor untuk 2024. Sayang laku yang dipilih demikian.

Asyik melototin Jokowi, malah abai menilai Andika Perkasa, Ganjar, atau Moeldoko sekalipun. Mereka ini jelas-jelas kompetitor yang sangat potensial merontokkan AHY, bukan Jokowi. Malah bisa berharap dari pemilihnya.

Survey menempatkan AHY pada posisi tinggi, disandingkan dengan ketua umum partai politik lain. Padahal Megawati, sangat kecil kemungkinan maju lagi. Malah Ganjar yang bukan ketua umum sangat mungkin menjadi calon. Nah, karena asyik ke dalam diri sendiri, keluar hanya Jokowi terus yang menjadi bahan, mereka abai menakar keberadaan tokoh lain.

Menyoal Jokowi dengan harapan dapat durian runtuh, kalau berhasil. Susahnya adalah, Jokowi itu kesayangan warga dan juga media. Seburuk-buruknya apa yag dipilih Jokowi tetap lebih banyak yang mendukung. Apalagi memang kesalahan dan kekeliruan langkah Jokowi relatif kecil dan tidak cukup membuat warga bergolak.

Pendekatan Jokowi dalam menyikapi sikap oposan juga sangat mendukung langkah politisnya. Fokus pada program dan kerja, membuatnya tidak memberikan energi dan perhatian pada sikap lawan politik yang tidak mendasar juga. Ini kerugian dari Demokrat yang biasa responsif bahkan masuk pada tataran reaktif.

Menggempur orang kuat kalau menang atau berhasil memang dapat hasil yang luar biasa. Kalau gagal ya binasa. Sayang, hingga hari ini, seolah Demokrat masih saja berkutat dengan satu jalan ini. Padahal sudah jelas gagal total,  nama baik dan keberadaan Demokrat sangat jelek.

Harus bersikap dan mengubah strategi. Waktu semakin mendesak, tetapi pilihan-pilihan politiknya malah menjadi lelucon. Tenar sangat mungkin, tetapi bukan jaminan menjadi pilihan utama. jangan sewot dan kaget, kalau ada pengamat yang mengatakan untuk cawapres saja sulit ada partai yang mau mengajak bergabung, apalagi sekelas capres.

Keberadaan Demokrat itu sudah sangat kecil. Kejayaan sudah sirna, kini lebih banyak bertikai di dalam dan juga pernyataan-pernyataan yang kontraproduksi. Menyasar diri sendiri. Seperti pernyataan 14 tahun ini demokrasi memburuk. Jika menyasar Jokowi, kan baru tujuh tahun, lha yang tujuh tahun kan pepo.

Hal-hal kecil, remeh, dan seolah tidak penting namun malah menyasar dengan telak pada kondisi sendiri.  Tanpa kesadaran, ini bisa berbahaya bagi keberadaan Demokrat. Pengalaman pilpres 2019 harus menjadi perhatian. Padahal tahun ini jauh lebih buruk dan lemah.

Layak ditunggu sikap SBY dan AHY dengan Demokratnya. Ngarep pemilih Jokowi jauh lebih realistis dari pada menyasar membabi buta demikian.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun