Lagi dan lagi kader dan simpatisan atau yang berafiliasi pada Demokrat, terkena dugaan penghinaan suku atau ras. Maksudnya sih menghina Presiden Jokowi, apadaya terlalu bersemangat malah mengena juga pada sikap rasisme.
Dugaan penghinaan pada presiden tidak akan berpanjang kali lebar. Selain unsur politis, mereka juga paham, Jokowi tidak akan ribet dengan urusan sepele seperti itu. Berbeda, ketika orang sudah jenuh dengan berbagai trik oposan yang begitu-begitu saja, eh malah melebar pada rasialis. Ini serius.
Lepas dari apa yang dilakukan seorang mantan jurnalis dan medianya, jauh lebih menarik adalah apa yang melibatkan kader dan simpatisan Demokrat. Lepas bahwa mereka keceplosan atau memang demikian, namun ada paling tidak, tiga hal yang menjadi bumerang bagi Demokrat sendiri.
Pertama, tudingan pada buzzer. Pihak istana sebaiknya membubarkan buzzer. Padahal ini adalah "pembela" jelas pemilih Jokowi, dan itu jumlahnya sangat besar. Sayang mereka dijadikan sasaran tembak, padahal ini potensial dirangkul untuk menjadi pemilih bagi Demokrat atau AHY.
Kelompok yang dituding sebagai buzzer ini kebanyakan nonpartisan. Nah Demokrat juga tidak memiliki pemilih militan. Sebenarnya klop, namun malah sudah ada pada posisi bersebrangan. Permusuhan justru dari kubu Demokrat lebih dulu.
Kedua, makar, tudingan pada istana dan Moeldoko mengudeta AHY pada awal tahun lalu, malah pada pertengahan tahun Demokrat, paling tidak melalui elit mereka mendengungkan kegagalan Jokowi mengatasi pandemi. Ganti saja dan sejenisnya. Nah, ini lagi-lagi membuka perselisihan pada pemilih Jokowi yang pada 24 nanti sangat terbuka menjadi pemilih potensial bagi AHY atau Demokrat.
Narasi yang disampaikan susah dilupakan, terutama para elit Demokrat, sayang malah tiba-tiba PN Jakarta Pusat menolak gugatan kubu AHY. Semua sudah mereda dan memainkan narasi lain, eh malah diingatkan kembali.
Maunya sapu bersih, dan semua harus takluk pada AHY, ternyata tidak demikian. Pelarangan penggunaan atribut malah bisa menjadi bencana yang lebih gede. Â Soal mau menang-menange dhewe.
Ketiga, terbaru. Beberapa pihak, kader, elit, atau mantan Demokrat mengolok-olok, dan malah cenderung menghina Jokowi dengan pakaian adat dan daerah. Malah sayangnya jatuh pada perilaku rasial.
Asli mereka maunya merendahkan Jokowi, apa daya, sikap  kritis mereka menjadi bumerang dan menghajar mereka sendiri. Mau baju Baduy atau baju adat Lampung menjadi bahan pergunjingan yang sebenarnya tidak mutu.
Apa yang dilakukan kader dan elit Demokrat itu menjauhkan potensi limpahan pemilih Jokowi. Selama ini, mereka asyik menyerangbak babi buta pada Jokowi. Padahal bukan kompetitor untuk 2024. Sayang laku yang dipilih demikian.