Novel Baswedan dkk, Tak Lolos Uji Wawasan Kebangsaan Bukan Kiamat  Lho
Menarik apa yang terjadi usai adanya sas sus 75 orang tidak lolos uji wawasan kebangsaan. Narasi ke mana-mana, dan pihak yang berkompeten pun masih diam, selai hanya lempar  bola ke pihak lain. Hal yang wajar, melihat siapa yang dihadapi.
Pihak-pihak di luar, ada mantan pimpinan KPK, media, bekas jubir, ICW, dan tentu saja orang dan kelompok yang itu-itu saja menyatakan lagi-lagi yang sama. Pelemahan. Opini yang copasan saja, mulai cicik buaya berjilid-jilid, revisi UU KPK, dewas KPK, ASN untuk pegawai KPK, dan pengulangan yang kadang menjengkelkan.
Di tengah Kejaksaan Agung yang sedang getol menguak megaskandal tanpa banyak narasi, eh KPK yang sedang terjun bebas dalam banyak aspek, lebih banyak bermain narasi. Beberapa hal yang laik dicermati adalah,
Kegagalan itu hal yang sangat lumrah. Lihat berapa puluh ribu calon mahasiswa ditolak di PTN setiap tahunnya. Atau berapa banyak cowok dan cewek  yang patah hati. Artinya, kegagalan itu ya bagian hidup.
Tidak lolos test wawasan kebangsaan dan tidak menjadi bagian KPK, Â kan masih banyak lahan, mengapa harus repot dan seolah memaksakan diri untuk tetap bisa diakomodasi.
Pengabdian, ingat, jika memang menggunakan terminologi pengabdian, kan tidak hanya di KPK. Masih banyak tempat untuk itu. Jika orang tidak lolos dan dinarasikan sebagai upaya pembuangan, lha bagaimana para mahasiswa yang tidak diterima, karena memang kompentensinya tidak mencapai ambang batas.
Pendaftar CPNS juga ratusan ribu, yang diterima berapa? Hal yang normal seleksi itu, mengapa menjadi berbeda, ketika itu untuk KPK?
Integritas. Jika bicara integritas. Lha kebocoran sprindik, sas-sus jual beli kasus, dan tebang pilih juga bukan baru kali ini. Sejak lama banget. Apa kaitannya dengan test ini? Test  ini tidak berbicara mengenai integritas yang sangat sumir tetapi, ada parameter yang mereka tidak mampu menyelesaikan.
Berbicara integritas, namun malah ini, orang yang diuji berteriak kenceng, padahal penguji dan pihak yang berkepentingan, dalam hal ini lembaga KPK, belum bersuara. Ada apa?
Agama. Entah mengapa kog ditarik-tarik ke arah agama. Pertanyaan soal mau tidak membuka jilbab, ini bukan soal agama. Sangat mungkin mau membaca keteguhan iman dengan pertanyaan ini. Asumsi yang  berlebihan jika dikaitkan dengan mau membuang kelompok tertentu. Malah ada kecenderungan mereka yang membawa-bawa ini ada misi khusus.
Jika memang tidak ada apa-apa, pengabdian bagi bangsa dan negara, isu taliban sebanter apapun ya biar saja. Ketika narasi media, orang-orang di luar lebih tahu detail hasil, malah layak dipertanyakan dan ada apa ini?
Kan wajar namanya orang gagal itu. Sepinter apapun, toh pernah mengalami apa yang diinginkan tidak terwujud. Misalnya, maunya baju merah, eh pas dicari ukuran tidak ada. Ini juga kegagalan kog, apa salah toko, atau bajunya? Kan tidak. Memang ada kekuatan di luar yang tidak mampu dijangkau.
Manusia itu terbatas. Sangat mungkin pas ujian sedang grogi, karena tahunan tanpa ada evaluasi. Lama usai kuliah. Jadi hal yang wajar sebenarnya. Mengapa reaksinya  menjadi seperti sekarang?
Hal yang biasa, disikapi dengan luar biasa, berarti ada apa-apanya. Justru publik bertanya-tanya lha ada apa sih? Nah malah akhirnya satu demi satu diungkit.
Bagaimana aroma politik, ideologi, dan begitu banyak hal yang perlu dibenahi di KPK itu. Salah satu perubahan dan itu mencolok, adanya photo presiden dan wakil presiden serta Burung Garuda sebagai latar ketika mengeluarkan pernyataan pers.
KPK memang lembaga independen, tetapi toh masih dala bingkai NKRI dengan presiden dan wakil presiden. Wajib gambar itu ada dalam ruang-ruang lembaga negara.
Jangan mengacokan dengan narasi, gambar itu simbol intervensi. Ini sih sudah di luar nalar. Lepas kepentingan politik, ini syarat bernegara.
Gambar  Burung Garuda, jelas identitas bangsa, ideologi negara adalah Pancasila. Mengapa itu tidak ada selama ini?
Apakah dengan tampilnya ketiga gambar itu mau menyatakan, bahwa yang tidak lolos wawasan kebangsaan akan terusir? Layak ditunggu pada awal bulan depan.
Ini bukan soal integritas, bukan semata soal test wawasan kebangsaan, namun mengenai kapasitas dan ideologi bangsa yang harus dipenuhi untuk bisa menjadi aparat negara. Narasi dan opini yang berkembang sudah berlebihan. Ini yang malah menjadi tanda tanya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H