Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jilbab dan Digigit Nyamuk, Pernyataan Ngasal

26 Januari 2021   19:38 Diperbarui: 26 Januari 2021   19:43 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via https://id.carousell.com

Jilbab dan Digigit Nyamuk, Pernyataan Ngasal

Cukup pelik persoalan jilbab di salah satu sekolah menengah atas di Padang. Sebenarnya sederhana, ada yang salah, selesai. KPAI, Mendiknas, KemenkoPolHukam sudah menegaskan, tidak perlu demikian. Mengapa masih berkepanjangan? Hanya karena gengsi sebagai pemimpin sudah salah. Padahal  kualitas pemimpin itu malah nyata ketika berani bertanggung jawab.

Beberapa kengacoan itu adalah sebahgai berikut; ini pernyataan netizen ataupun pejabat yang sempat terekam, tidak seperti itu seutuhnya, pun tidak persis demikian;

Mengapa ribut kalau jilbab, topi santa engga.

Dua hal yang perlu dilihat, jilbab selalu dinyatakan dengan busana Muslim. Jelas, tegas, pasti, tidak bisa disangkal itu busana keagamaan. Beda dengan opi santa, itu istilah dan cenderung bisnis, bukan agama. Tidak ada agama Kekristenan yang menggunakan topi santa sebagai properti peribadatan. Jelas tidak selaras jika memperbandingkan.

Ini selkolah negeri, bukan sekolah berbasis agama. Nanti alasan ini juga akan masuk ketika menjadi jawaban atas reaksi yang lain lagi. Topi santa juga bukan dipaksakan kepada siswa Muslim, belum pernah terjadi bahkan.

Sekolah Kristen masih memaksa Pelajaran Agama Kristen tidak?

Lagi-lagi ngaco. Ini adalah konsekuensi atas pilihan sendiri, masuk ke sekolah Kristen ya ikut apa yang ada di sana. Sudah ada surat pernyataan yang disepakati dengan suka rela di muka. Perbandingannya sebenarnya adalah, apakah anak Nonmuslim yang sekolah di sekolah Islam juga harus ikut pelajaran agama Islam?

Berbeda secara esensial. Mengapa? Persoalannya itu di sekolah negeri, bukan di sekolah agama. Jika itu di Madrasah juga yang menyoal malah ngaco. Membedakan dan memetakan masalah saja kacau.

Keindahan dan kerapian.

Terlalu subyektif, peraturan itu sebisa mungkin obyektif. Pun tidak pas juga karena label dan sematan busana Muslim bukan soal rapi dan indah, namun sesuai dengan tuntunan agama atau tidak. Beda konteks dan malah jadinya terkesan membela diri semata.

Rapi dan indah itu sudah pasti masuk dala m aturan umum atau universal, semua akan paham standar terendah dalam berpakaian di sekolah, ataupun di depan publik. Susah melihat ini sebagai pembelaan diri yang bisa dipertanggungjawabkan.

Miris lagi mengatakan itu biar tidak digigit nyamuk

Kepala dinas pula. Membayangkan jika itu yang mengatakan bukan orang Muslim, apakah tidak menjadi masalah berlarut-larut. Mungkin sudah jengkel, jenuh, pekerjaan terhambat, mendapat telpon dan kemarahan dari mana-mana, maka terlontarlah jawaban itu.

Jika benar demikian, jilbab sama dengan kelambu? Atau malah fungsi jilbab itu bak kelambu. Lha ke mana sematan busana Muslimnya?

Ini lebih cenderung jawaban putus asa dan sudah tidak tahu lagi mau apa. menjadi perhatian publik, bahkan menasional.

Peraturan, ikuti saja yang minoritas jangan tampak, menggunakan bahasa di mana bumi dipijak di sana bumi dijinjing.

Lagi-lagi tidak tepat. Mengapa? Penghormatan akan adat, kebiasaan, dan tata krama itu bagi pendatang di mana ia hidup. Apakah ini budaya Padang?

Sekali lagi dan konteksnya adalah ini sekolah negeri, bukan sekolah berbasis agama. Tidak akan ada yang mempersoalkan jika itu adalah Madrasah, atau SMAIT, dan sebagainya. Itu adalah hak sepenuhnya mereka. Tidak bisa diganggu gugat.

Masalah adalah, ini sekolah negeri, berarti aturan adalah sesuai dengan kebijakan negara, di mana falsafah adalah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana bisa sekolah negeri namun menggunakan paradigma sektarian, hanya memfasilitasi satu saja pihak dan pihak lain dipaksa untuk ikut serta.

Jangan mencampuradukan masalah dengan aneka persoalan lain. Masalah pokok adalah aturan sekolah negeri namun ada pemaksaan bagi siswi tertentu. Ingat ini bukan yang pertama. Sejak 2009 NU dan Muhamadiyah sudah mengeluarkan rekomendasi dalam buku Ilusi Negara Islam Indonesia. Ingat 2009, dan kini sudah berapa tahun? Masih saja terjadi.

Malah melebar dengan mengaitkan dengan topi santa segala, itu sama sekali tidak sebanding, tidak ada kaitannya sama sekali. Asesoris kog dipersamakan dengan busana khas agama. Topi santa itu asesoris bisnis. Demi meraup keuntungan dengan menggunakan pernak-pernik pesta keagamaan. Lepas dari busana liturgi misalnya.

Malah makin aneh, ketika di jazirah Arab hal-hal demikian tidak lagi menjadi polemik, mengapa malah di sini jadi seolah lebih Arab dari yang Arab asli? Ada apa? Ini layak menjadi  perhatian dan kajian pihak yang berkompeten untuk menemukan akar masalah dan jawabannya. Bung Karno pernah berpesan, jadilah Hindu tanpa menjadi India, jadilah Islam tanpa menjadi Arab, jadilah Kristen tanpa menjadi Barat.

Biasalah menelaah dengan logika yang lurus. Jangan seolah lurus padahal bengkok. Masalah jadi bias dan malah cenderung ngawur dan ngaco. Jilbab dan topi santa itu sama juga menyamakan duren dan rambutan.

Negara lain membuat matahari, eh di sini malah ribut hanya soal  pakaian. Hal yang lebih prinsip dan mendasar malah diabaikan. Peraturan itu untuk manusia, bukan malah manusia menjadi budak aturan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun