Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Putihnya Cintamu Seputih Jubahku

20 Juli 2020   12:39 Diperbarui: 20 Juli 2020   12:32 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua

Masa Lalu 1

Pagi ini aku masuk sekolah lanjutan atas. Seragam biru dengan celana pendek itu usai sudah menemani ku selama ini. Hari ini aku merasa lebih dewasa dalam balutan celana panjang abu-abu, yang dulu sangat aku inginkan, namun khawatir juga apa tidak akan gerah mengenakannya. Mulai hari ini aku mengenakannya dan hingga tiga tahun ke depan aku kenakan.

Brak, tiba-tiba saja aku tertabrak dari belakang dan mau tidak mau aku terjerembab di aspal jalan masuk sekolah. Koor tawa membahana berseliweran ditingkahi siul usil beberapa makhluk di sekolah baru ini. Aku makin merah padam ternyata yang ada di atas tubuhku seorang gadis yang naga-naganya anak baru juga. Jelas tercetak dari baju dan roknya yang masih sangat baru.

"Kamu itu pagi-pagi jangan melamun di tengah jalan, sehingga aku tidak kamu halangi lariku, tahu kamu.....!" sembur cewe judes itu.

Aku cuma melongo melihat caranya nyerocos, siapa salah, malah nyolot. Ya sudahlah.

Aku langsung saja pergi tanpa bersihkan baju dan celanaku, buat apa, mau menambah malu saja. Ditertawakan seperti koor yang membahana begitu, masih dilabrak cewek lagi. 

Aku melangkah menuju kelasku, aku tahu belum punya kenalan sama sekali karena memang teman-teman SMP-ku tidak ada yang ke SMA-ku ini, sepanjang yang aku tahu. Celingak celinguk melihat kolong meja yang belum ada tasnya. 

Dan aku kecewa karena bagian strategis, belakang maksudnya telah terisi semua. Meja di  tengah ada satu yang kosong mesti cewe terlihat dari tasnya. Dengan terpaksa, mau tidak mau aku ambil bagian depan, meskipun bukan paling depan. Biasa anak sekolah paling malas di depan nanti disuruh ini itu pertama.

"Eeh kau lagi, mimpi apa semalam, sekelas dengan pelamun seperti mu?" ternyata cewe yang slebor tadi sekelas denganku.

Tanpa peduli aku duduk dan ambil buku bacaanku. Aku cuek saja dan tidak balas omelannya yang seperti tante-tante itu. Padahal susah juga konsentrasi.

"Kamu geser, semua sudah penuh, aduuuuuuuuuuuuuuuuh kenapa juga harus semeja denganmu," sengak gadis itu lagi.

 Aku lagi-lagi tidak mau ambil pusing dengan ocehannya. Pagi-pagi buat rusuh saja.

 "Kamu dengar gak siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih?" umpatnya di telingaku.

Gila juga nih gadis.  Aku tetap tidak jawab hanya sudut mataku menunjuk bangku depan ada banyak yang kosong. Seolah  tahu maksudku, kata sengaknya masih sama keluarnya, "Aku gak mau depan, emangnya mau jadi korban disuruh-suruh, kalau bisa ga soal, kalau gak, mampus, geser!!!!" desaknya.

Kali ini bahkan tubuhnya ikut mendorong badanku. Aku tetap diam dan pura-pura gak dengar, akhirnya dia lompati aku dan duduk di tengah.

"Angela Putri," ia menyodorkan tangan mengajak  kenalan.

Cewe terbuka juga nih siswi, aku suka dengan model rekan seperti ini, tidak jaim dan sok alim. Dan memang secara etis pergaulan harus cewe dulu yang mengucapkan nama. Wah keluarga luar biasa dalam mendidik putra putrinya ini. Baru saja ngoceh seperti tidak kenal pendidikan sopan santun, untuk pergaulan kog keren banget. Aku malah menganalisis bukan membalas perkenalannya.

"Gak mau ya udah," cemberut sambil memonyongkan bibirnya.

Dan itu bertahun kemudian ternyata tidak terjadi kalau ia jengkel. Masih dengan monyong, ia tarik tangannya dan ambil komik membacanya dengan asyik.

Aku yang kembali terbangun dari mimpi menyebutkan nama, "Gabriel Harya Setyawan, kamu bisa panggil aku Gabie," kataku memecah keheningan dan kejengkelannya.

"Bapakmu Setyawan ya?"

Tanpa berpaling dari komiknya Angela menyahut. "Aku males nyebut kata ketiga namaku, karena selalu bawa-bawa bapak, menjengkelkan," kembali bibirnya manyun.

"Enggak, itu namaku sendiri, bukan nama bapakku, aku panggil kamu apa?"

"Angel saja ya, dan aku panggil kamu Arya saja biar beda. Kamu temanku pertama, soalnya aku dari Sulawesi, bapakku pindah ke sini, mau tidak mau aku ikut," cerewetnya kelihatan makin jelas.

"Namaku Gabie, dan tidak ada yang manggil aku begitu," aku mengambil novel dan mulai meneruskan bacaanku yang sempat aku baca di bis tadi.

Teeeeeeeeeeeeeet....teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet.....

"Ayo, kita ke lapangan, mulai upacara, hari pertama," Angel tanpa risih dan rikuh langsung saja ambil tanganku dan menyerat ke lapangan. Hampir seluruh kelas menengok ke arah kami. Dan jawaban yang ia berikan adalah pelototan, dan siapa takut dipelototan makhluk cantik begitu, malah cowok-cowok tidak berkedip. Di balik itu iri kepadaku tentunya.

Kegiatan yang begitu-begitu saja, perekanalan guru-guru yang satupun tidak aku dengar apalagi ingat. Toh nanti di kelas juga akan terulang lagi dan begitu.

Upacara usai, aku mulai dapat kenalan kanan dan kiri ku serta beberapa  di depan dan belakangku. Baru juga asyik-asyik dengan rekan-rekan baruku, Arif, Budi, Bayu, eh ada tangan lembut yang kembali menyeretku. Aku tanpa menengok dan melihat juga tahu perbuatan siapa. 

Aku tidak tahu harus bagaimana, beberapa cowo yang iri namun mulai kenal, bersuit-suit dan aduuuh heran, si Angel ikut juga bersuit. Emang ada burung ikut upacara apa. Itu hari pertama perkenalan dan awal keakraban kami. Tiga tahun hari-hari kami isi dengan belajar kelompok, jalan berdua atau beramai-ramai, nonton berburu novel atau komik kesukaan kami, jajan di bawah pohon, dan aneka kesibukan lainnya.

Musim ujian bukan merenggangkan kebersamaan kami, kami makin intensif belajar bersama, kadang rekan-rekan lain juga bergabung dan makin menambah semangat kami untuk mendapatkan hasil terbaik. Meski kami akrab kami tetap bersaing untuk mendapatkan hasil terbaik dalam studi kami. Kadang kami juga mengirim artikel atau karya kami untuk lomba-lomba. Kami sering bergantian menang. Siapa yang menang dan mendapatkan hadiah untuk traktir nonton dan makan.

Usia SMA tentu ada taksir menaksir, bukan buah yang ditaksir tengkulak, namun lawan jenis. Pas kami berdua biasanya kami membahas itu. Lucu-lucuan juga dan hingga kami usai kelas tiga sama sekali tidak ada yang nyangkut di hati kami masing-masing. Asyik dengan main dan belajar, meskipun banyak pula yang sudah mulai pacaran, ada pula yang harus berhenti tidak bisa masuk jenjang kuliah karena hamil duluan. 

Mendengar hal demikian biasanya kami  belajar untuk tidak menertawakan namun menjadi peringatan agar kami hati-hati. Aku tahu, kami masing-masing saling suka, namun entah mengapa kami saling diam dan tidak mengungkapkan lebih dari biasa. 

Jalan, kadang kalau ada uang lebih, kami bisa nonton film, makan di warung kesenangan kami, atau saling traktir siapa yang lagi ada uang lebih. Kami juga tidak ribut kalau salah satu di antara kami jalan atau ngobrol dengan rekan lawan jenis. Kadang ada yang gak enak juga sih di dada ini.

Sore ini kami janjian mau cari buku bacaan dan komik kesukaannya. Di toko, kami ketemu Dany, si kapten basket.  Semua juga tahu ia naksir berat Angie. Cuma Angienya adem ayem saja. Dia malah gandeng tanganku sok mesra, baru tahu ini alasannya, tadi mau tanya pasti aku diamuknya. 

Memang cowok idaman gadis-gadis itu belum lihat, karena asyik di rak film. Aku tahu Dany berkali-kali ngajak jalan Angie, jawabannya selalu sama saja. Aku yakin juga ia pasti sering japri via hape, dan gak akan ada jawaban satu kali pun.  Paling-paling akan dia kirimkan ke aku, dan aku jawab dengan emoji  senyum saja.

Bella, yang begitu ke aku, aku jawab dengan alasan yang sama, sibuk. Paling tidak aku jawab, atau aku katakan lain kali. Gak tega mau kirim ke Angie atau diam saja. Aku tidak setega Angie ke Dany. Beda memang. Apalagi menjadikannya bahan guyon. Angie tahu juga kan Bella sering minta bantu Angie, dia jawab gampang, bisa diatur, hanya itu, dan tidak pernah dilakukan, paling becada, tuh diajak jalan cewek u.

Pantas saja sejak tadi ia gandeng tanganku, mau aku godain khawatir dia teriak dan malah nyadarkan Dany yang selalu buruk sikapnya kalau tahu Angie dekat aku. Aku juga gak mau disalahkan, nyatanya dia usaha aku juga diam saja kog. 

Syukur dia ahli sport yang sportif, Tidak malah suka olah raga namun tidak bisa memiliki jiwa sportif. Jeles dibesarin. Badan gede jiwa kecil. Sayang malah makin buat enek si Angie anak blak-blakan dan jujur begitu. 

Aku sengaja lewatin rak film, mau tahu apa yang mau mereka lakukan. Eh Angie malah meluk pinggangku dan sengaja menabrak dari samping Dany. Duuh hampir pasti ini akan ada muka masam dan perang dingin makin kentara. Syukurnya tidak pernah sih sampai ngajak berantem atau usil yang buruk lainnya.

"Gab, kamu gimana sih, mainin aku ya? Katanya enggak-enggak? Kemarin itu apa?" celetuk Dany dengan tegas. Aku tahu, ia jengkel, hanya saja ya begitu, tanya baik-baik, bete sih ya segitu. Toh kami juga bersahabat kog. Kami bertiga, aku, Dhani, dan Angie berkawan karib. Dia juga pribadi yang sportif, tidak akan berani dia menghianati hobbynya. 

Pak Yus juga akan marah besar jika kapten basket, ketua ekstra kurikuler basket putra, bahkan koordinator ekskul olah raga di bawah bimbingan beliau berlaku buruk dengan berkelahi misalnya karena lawan jenis. Aku juga tahu dia jengkel pasti, tetapi tidak bisa juga memaksakan apa yang harus Angie lakukan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun