"Kamu geser, semua sudah penuh, aduuuuuuuuuuuuuuuuh kenapa juga harus semeja denganmu," sengak gadis itu lagi.
 Aku lagi-lagi tidak mau ambil pusing dengan ocehannya. Pagi-pagi buat rusuh saja.
 "Kamu dengar gak siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih?" umpatnya di telingaku.
Gila juga nih gadis.  Aku tetap tidak jawab hanya sudut mataku menunjuk bangku depan ada banyak yang kosong. Seolah  tahu maksudku, kata sengaknya masih sama keluarnya, "Aku gak mau depan, emangnya mau jadi korban disuruh-suruh, kalau bisa ga soal, kalau gak, mampus, geser!!!!" desaknya.
Kali ini bahkan tubuhnya ikut mendorong badanku. Aku tetap diam dan pura-pura gak dengar, akhirnya dia lompati aku dan duduk di tengah.
"Angela Putri," ia menyodorkan tangan mengajak  kenalan.
Cewe terbuka juga nih siswi, aku suka dengan model rekan seperti ini, tidak jaim dan sok alim. Dan memang secara etis pergaulan harus cewe dulu yang mengucapkan nama. Wah keluarga luar biasa dalam mendidik putra putrinya ini. Baru saja ngoceh seperti tidak kenal pendidikan sopan santun, untuk pergaulan kog keren banget. Aku malah menganalisis bukan membalas perkenalannya.
"Gak mau ya udah," cemberut sambil memonyongkan bibirnya.
Dan itu bertahun kemudian ternyata tidak terjadi kalau ia jengkel. Masih dengan monyong, ia tarik tangannya dan ambil komik membacanya dengan asyik.
Aku yang kembali terbangun dari mimpi menyebutkan nama, "Gabriel Harya Setyawan, kamu bisa panggil aku Gabie," kataku memecah keheningan dan kejengkelannya.
"Bapakmu Setyawan ya?"