Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yogya Istimewa, Sewakul-Ungaran Menista, dan Politisasi Pandemi

19 April 2020   09:28 Diperbarui: 19 April 2020   09:27 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogya Istimewa, Sewakul Ungaran Menista, Politisasi Pandemi

Khabar bahagia, membanggakan, dan memberikan harapan, kala warga Baciro Yogyakarta menyampung nakes yang memasuki tempat peristirahatan di kampung mereka. Benar tempatnya adalah milik pemerintah, yang berlokasi di kampung mereka. Warga antusiasi menyambut mereka. 

Tokoh di sana mengatakan sebenarnya jauh lebih banyak yang mau hadir, namun karena sedang pembatasan fisik dan sosial, hanya warga setempat yang diperkenankan hadir.

Hal yang sangat sudah sewajarnya sebagai bangsa Indonesia, yang mengagung-agungkan kebersamaan, gotong royong, dan kebersamaan sebagai sebuah gaya hidup. Syukur masih banyak warga negara yang waras. Model-model ini yang perlu diviralkan dan dinyatakan dengan lebih lantang lagi.

Hal baik yang sayang, malah kadang kalah viral dengan beberapa hal yang sejatinya tidak seseram faktanya. Karena diulang-ulang, tambahan demi tambahan yang membuat itu seolah adalah keseluruhan, jadinya keadaan lebih kelam. Padahal tidak sepenuhnya benar. 

Tengok saja bagaimana pemberitaan dan narasi penolakan jenazah, dua saja yang paling gede. Purwokerto sehigga bupati Banyumas ikut menggali kembali makam jenazah.

Kisah Sewakul Ungaran. Narasi yang berkembang juga liar ke mana-mana. Akun media sosial pelaku dan juga almarhum menjadi kulikan warganet. Apa yang terjadi memang lebih ramai, namun jauh dari esensi permasalahan. 

UU ITE lah, pekerjaanlah, atau sosial lainnya, berbeda dengan apa yang terjadi pada esensinya. Penolakan itu fakta, namun kehidupan pribadi para pelaku soal yang berbeda. Toh itu campur aduk tidak karu-karuan.

Memang tidak bisa dipisahkan antara pribadi, pekerjaan, dan pilihannya. Ini juga pembelajaran untuk masyarakat bisa lebih  memilah-milah, bukan asal saja dalam bersikap pada sebuah kejadian faktual. Kebiasaan nggebyah uyah, membuat persoalan kadang menjadi liar dan malah tidak menyelesaikan masalah.

Politisasi Pandemi

Hal yang tidak bisa dibantah. Mengapa demikian masif pemberitaan yang kadang bertolak belakang. Satu mengatakan boleh nanti akan datang bantahan dan yang tidak jarang bertolak belakang. Memang kadang ada yang itu revisi atas kajian, namun lebih banyak hanya asumsi dan sebuah kampanye gagal paham semata.

Lihat saja bagaimana pemerintah setiap kali mengeluarkan kebijakan akan banyak bantahan, cemoohan, dan rupa-rupa sikap pesimis. Orang dan kelompoknya ya itu-itu saja. 

Tanpa ada solusi atau pertimbangan lebih baik. Asal bicara dan waton sulaya. Mirisnya apa yang disampaikan sama sekali tidak berdasar dengan kajian yang luas dan menyeluruh.

Peran Media. Entah ada kardus atau apa, yang jelas dalam banyak kasus beberapa media lebih mengedepankan click bait, kehebohan yang susah ditepis kalau itu adalah benar-benar berita, cenderung ada pemesan. Pesan suram dalam beberapa fakta dibesar-besarkan, diulang-ulang, dan ada keseragaman dalam nada dasarnya.

Berita buruk adalah berita bagus, sangat ditunggu-tunggu maksudnya, masih menjadi gaya bermedia, mau arus utama apalagi media sosial. Click bait, kini bukan semata media sosial atau media abal-abal, level media besar dan arus utama pun jatuh pada penghamba klik dan iklan. Hanya copas dari konferensi pers tertulis dari tokoh atau pejabat.

Media sosial dan grup percakapan. Wajar sih, perkembangan pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan bangsa ini masih belum sepenuhnya paham bermedia sosial dengan bijak. Lebih banyak share, mengejar cepat, viral, dan mau ikut tenar. Cek dan ricek abai, baru ketika kena kasus merasa khilaf, tidak sengaja, dan atau berdalih dibajak.  

Hal yang berkali-kali terjadi.  Setiap peristiwa agak panas sedikit saja model demikian menggejala. Ujung-ujungnya sama saja, ganti Jokowi. Lha ini bangsa sebenarnya mau apa sih, dikit-dikit ganti Jokowi, suksesi, presiden gak becus.

Penyebab politisasi makin marak;

Adanya barisan tidak taat azas. Pemilu itu lima tahunan. Selesai, antri empat tahun lagi, persiapkan diri dengan baik dan di sana lakukan pertarungan sehat dan adil. Tidak kemudian pemilu seperti  anak kecil main kelereng kalah lari sambil membawa kelereng semuanya. Pemain politik masa kecil kurang bahagia.

Barisan sakit hati. Lha ini kelompok sok demokrasi namun ternyata tidak siap kalah. Mereka ini baik partai politik, politikus, atau mantan pejabat yang dengan berbagai-bagai alasan dan latar belakang menjadi "oposan" yang waton sulaya. Semua kebijakan negara pasti salah, dan mereka tidak memberikan tawaran solusi ataupun sebentuk data yang lebih baik.

Pola pikir dan pernyataan mereka-mereka ini digelontorkan secara masif, dan memang memikiki jaringan media sosial dan menjadi riuh rendah, meskipun sangat dangkal jika mau kritis. Pengulangan setiap ada peristiwa.

Lemah membaca apalagi paham keadaan. Kebiasaan membaca judul, membaca serampangan, dan pasti enggan melakukan pengecekan pada media lain, atau sumber yang berbeda. Kebiasaan ini yang diakai oleh kelompok di atas untuk memainkan deskripsi, narasi, dan juga kadang mengubah persepsi publik.

Bisa benar, bisa setengah benar, bahkan ada yang sama sekali salah sekalipun tetap saja dibagikan dan diyakini kebenarannya. Kebayangkan kan orang kadang jadi bingung mana yang benar atau ada kebenaran, dan bahkan salah sekalipun, saking banyaknya arus informasi yang diberikan.

Campur aduk kepentingan, agama, politik, dan kadang hukum sekalipun. Sekalinya pejabat agama yang bicara dianggap pasti benar. Ketika bicara politik ya belum tentu juga. Latar belakang pejabat agama menjadi penting.

Bagaimana untuk kehidupan lebih baik?

Membiasakan masyarakat untuk kritis, ingat kritis membaca. Berani mempertanyakan jika ada yang berbeda atau malah bertolak belakang. Sikap ini menjadi penting, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh media atau kepentingan segelintir elit.

Pemuka agama, ingat bukan bicara hanya satu agama, relatif semua agama berlaku yang sama. Ketika pemimpinnya mengatakan sesuatu, lihat di belakang dan ke belakang, adakah kepentingan politik praktisnya atau tidak. Ini tidak berkaitan dengan dosa atau penistaan karena menyangkut kebenaran yang kadang sumir karena adannya kepentingan.

Lebih berdosa jika ikut sesat tanpa mau memberitahukan kebenaran yang lebih universal. Penyakit bahkan global, bukan hanya bangsa ini.

Taat azas. Jangan campur adukan agama dan ideologi berbangsa. Jika masih saja demikian, ya tidak akan beranjak jauh. Mundur terus karena saling curiga dan tidak maju-maju. Ribet dan ribut pada tataran yang sudah selesai.

Gelorakan khabar positif, kesembuhan dan harapan jauh lebih baik dari pada membahas kematian dna jenazah. Hal yang seolah ada yang menghalangi untuk melihat yang pesimis dari pada harapan baik bagi hidup bersama.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun