Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerintah Tidak akan Memulangkan Teroris, Gloria, dan Archandra

11 Februari 2020   18:32 Diperbarui: 11 Februari 2020   19:15 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah Tidak akan Pulangkan Teroris, Gloria, dan Archandra Tahar

Mahfud MD menyatakan dengan tegas, lugas, dan keras, pemerintah tidak akan memulangkan teroris. Hal ini bisa dicek dalam pemberitaan Kompas.com. Pewarta sendiri memberikan judul Pemerintah tidak akan memulangkan WNI eks-ISIS, berbeda di dalam badan berita. 

"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Bahkan tidak akan memulangkan FTF (foreign terorist fighter) ke Indonesia," kata Mahfud.

Pemerintah mempertimbangkan dua ratus juta penduduk lainnya. Namun masih ada  kemungkinan untuk membuka kemungkinan membawa pulang anak-anak, di bawah 10 tahun. Kasus per kasus bukan dalam konteks secara keseluruhan ditolak.

Jelas pas, baik, dan mendengar aspirasi sebagian besar dari rakyat dan juga ormas, ataupun elit negeri ini. Hanya sebagian  kecil orang, pejabat, dan juga lembaga yang menyatakan dukungan, toh itu bisa dikatakan pendapat pribadi per pribadi bukan sebagai sebuah keputusan resmi kelembagaan.

Layak dilihat juga ke belakang, bagaimana menjelang peringatan kemerdekaan tahun 2016 yang lalu, ketika ada salah satu pasukan pengibar bendera yang ternyata berkewarganegaraan ganda. Pro dan kontra langsung riuh rendah. Nasionalisme seolah tercoreng. Padahal itu tidak akan menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional.

Apa yang mampu dibuat anak-anak coba? Toh permintaan untuk tidak ditugaskan benar-benar terjadi dan ia hanya menjadi "penonton". Coba apa salah Gloria. Apa ia paham sebelumnya, toh yang riuh rendah juga kiranya tidak paham juga sejatinya.

Hal yang identik juga terjadi ketika kabinet yang lalu, ketika Archandra telah dilantik menjadi menteri. Lagi-lagi riuh rendah, ribut, dan meminta untuk diganti. Okelah soal ancaman keamanan  negara memang bisa dan ada.  Jadi sedikit berdasar dari pada soal Gloria. Permintaan dan desakan untuk mengganti pun bermunculan dan akhirnya terjadi.

Kewarganegaraan Archandra yang diakui pihak lain karena kompetensinya. Kemampuan, daya pikir, dan intelektualnya dihargai pihak asing, dan bangsa ini panik ketika ada "kesalahan" administrasi. Ributnya bukan main.

Toh masih bisa diselesaikan dan akhirnya Archandra bisa menjadi wakil menteri. Kemampuan, prestasi, eh dikalahkan oleh selembar pengakuan asing atas kewarganegaraan. Ini berkaitan dengan kewarganegaraan. Coba apa kemampuan dan ancaman Archandra bagi keamanan nasioal?

Rekam jejak sama sekali tidak ada. Asumsi jika ia adalah agen, itu kan asumsi, yang belum tentu benar.  Memang bisa. Toh WNI yang belum ke luar negeri pun bisa juga jadi agen kog. Praduga yang masih jauh dari faktual. Bisa saja. Dan bisa juga tidak.

Eks-WNI yang memilih jadi pejuang DAESH, suka atau tidak lebih fatal. Bagaimana mereka membakar passport, sebagai identitas diri mereka. Artinya mereka secara publik menolak keberadaan bangsanya. Mereka sudah menyatakan diri sebagai anggota bangsa lain. Yang diyakini lebih baik, lebih menjanjikan, dan lebih segalanya.

Pada posisi lain mereka juga sudah mencela bangsanya sendiri sebagai bangsa togut yang tidak layak dihormati apalagi dibanggakan. Eh ketika kenyataan itu tidak terjadi, kini menarasikan yang mengibakan hati. Benarkah demikian?

Toh nyata-nyata banyak bukti telah menampilkan mereka berperilaku munafik dan berperilaku pura-pura untuk bisa menyelinap dan mengamankan diri. Pembom di Filipina ternyata pernah menjadi warga binaan deradikalisasi di Indonesia. Kurang bukti apa lagi coba.

Pemberitaan juga mengatakan jika mereka pelaku kekejaman dan kekerasan justru pada keluarga dulu sendiri. Bayangkan tugas membunuh pada orang tuanya. Apa iya model demikian kog model beragama. Tidak ada agama di dunia ini melakukan pengajaran kekerasan dan kekejaman seperti itu.

Kemarin ada gagasan memekerjakan mereka dalam BUMN misalnya. Malah hal yang identik dengan perilaku lama bangsa ini di dalam menyelesaikan masalah. Beberapa contoh bisa dilihat, ada pelaku industri hiburan becanda soal Pancasila. Eh ia dijadikan duta Pancasila. Bagaimana dari pelaku pelecehan entah karena tidak tahu atau karena apa ia menjadi duta Pancasila. Menjadi duta itu seharusnya kan prestasi bukan malah sensasi atau kontroversi.

Ada pula anak SMA yang melawan Polwan ketika mau ditilang. Eh malah dijadikan juga duta tertib berlalu lintas. Lagi-lagi memberikan rewardi pada pelanggar. Lha memangnya kurang banyak anak-anak biasa, atau bahkan anak baik memangnya? Pendidikan model demikian tidak membantu menjadi lebih baik. Malah seolah memberikan legitimasi melawan itu baik.

Ada pula penyanyi yang melanggar jalur bus transjakarta. Eh malah dijadikan duta transjakarta. Lagi-lagi sensasi membawa hoki. Miris, memangnya tidak ada apa artis yang lebih baik, tidak membawa kasus untuk dijadikan duta ini dan itu. Buat apa susah-susah berprestasi jika sensasi bisa membuat tenar dan malah menjadi duta?

BUMN itu sebuah profesi yang sekian lama terutama era Orde baru hanya orang tertentu yang bisa masuk. KKN sangat kuat. Ketika mulai membaik dan bisa berkompetisi dengan cukup normal, eh malah dikuasai kelompok radikal. Nah bagaimana bisa kemudian ditambah dengan beberapa eks-WNI seperti itu?

Mosok akan selalu mengulang bukan prestasi yang membawa penghargaan, namun sensasi bahkan kontroversi. Janganlah menjadi bangsa aneh yang abai memberikan penghargaan pada yang berhak. Eh malah yang aneh-aneh mendapatkan kedudukan, dan yang telah berjuang malah hanya menjadi penonton semata.

Memang konsekuensi demokrasi, yang ironisnya tidak dibarengi dengan kemampuan dan kesediaan membaca bisa menjadi bencana. Dan itu memang harus di hadapi. Mengapa? Kalau berbicara ada dasarnya bukan asal-asalan dan mengatasnamakan demokrasi. eLeSHa.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun