Eks-WNI yang memilih jadi pejuang DAESH, suka atau tidak lebih fatal. Bagaimana mereka membakar passport, sebagai identitas diri mereka. Artinya mereka secara publik menolak keberadaan bangsanya. Mereka sudah menyatakan diri sebagai anggota bangsa lain. Yang diyakini lebih baik, lebih menjanjikan, dan lebih segalanya.
Pada posisi lain mereka juga sudah mencela bangsanya sendiri sebagai bangsa togut yang tidak layak dihormati apalagi dibanggakan. Eh ketika kenyataan itu tidak terjadi, kini menarasikan yang mengibakan hati. Benarkah demikian?
Toh nyata-nyata banyak bukti telah menampilkan mereka berperilaku munafik dan berperilaku pura-pura untuk bisa menyelinap dan mengamankan diri. Pembom di Filipina ternyata pernah menjadi warga binaan deradikalisasi di Indonesia. Kurang bukti apa lagi coba.
Pemberitaan juga mengatakan jika mereka pelaku kekejaman dan kekerasan justru pada keluarga dulu sendiri. Bayangkan tugas membunuh pada orang tuanya. Apa iya model demikian kog model beragama. Tidak ada agama di dunia ini melakukan pengajaran kekerasan dan kekejaman seperti itu.
Kemarin ada gagasan memekerjakan mereka dalam BUMN misalnya. Malah hal yang identik dengan perilaku lama bangsa ini di dalam menyelesaikan masalah. Beberapa contoh bisa dilihat, ada pelaku industri hiburan becanda soal Pancasila. Eh ia dijadikan duta Pancasila. Bagaimana dari pelaku pelecehan entah karena tidak tahu atau karena apa ia menjadi duta Pancasila. Menjadi duta itu seharusnya kan prestasi bukan malah sensasi atau kontroversi.
Ada pula anak SMA yang melawan Polwan ketika mau ditilang. Eh malah dijadikan juga duta tertib berlalu lintas. Lagi-lagi memberikan rewardi pada pelanggar. Lha memangnya kurang banyak anak-anak biasa, atau bahkan anak baik memangnya? Pendidikan model demikian tidak membantu menjadi lebih baik. Malah seolah memberikan legitimasi melawan itu baik.
Ada pula penyanyi yang melanggar jalur bus transjakarta. Eh malah dijadikan duta transjakarta. Lagi-lagi sensasi membawa hoki. Miris, memangnya tidak ada apa artis yang lebih baik, tidak membawa kasus untuk dijadikan duta ini dan itu. Buat apa susah-susah berprestasi jika sensasi bisa membuat tenar dan malah menjadi duta?
BUMN itu sebuah profesi yang sekian lama terutama era Orde baru hanya orang tertentu yang bisa masuk. KKN sangat kuat. Ketika mulai membaik dan bisa berkompetisi dengan cukup normal, eh malah dikuasai kelompok radikal. Nah bagaimana bisa kemudian ditambah dengan beberapa eks-WNI seperti itu?
Mosok akan selalu mengulang bukan prestasi yang membawa penghargaan, namun sensasi bahkan kontroversi. Janganlah menjadi bangsa aneh yang abai memberikan penghargaan pada yang berhak. Eh malah yang aneh-aneh mendapatkan kedudukan, dan yang telah berjuang malah hanya menjadi penonton semata.
Memang konsekuensi demokrasi, yang ironisnya tidak dibarengi dengan kemampuan dan kesediaan membaca bisa menjadi bencana. Dan itu memang harus di hadapi. Mengapa? Kalau berbicara ada dasarnya bukan asal-asalan dan mengatasnamakan demokrasi. eLeSHa.
Terima kasih dan salam