Beberapa waktu terakhir ramai, riuh rendah soal pembubaran FPI. Kala Menag mengatakan mau membubarkan FPI puja dan puji, sebaliknya ketika mengatakan mendukung perpanjangan izin ganti menjadi bahan celaan dan bahkan tuntutan untuk diganti.
Pujian kembali menggema ketika Tito selaku mendagri bersama Mahfud sebagai Menkopolhukam mengatakan belum bisa memberikan perpanjangan izin FPI. Belum lho bukan tidak. Bedakan. Semua memuji dan mengatakan ini hebat, tidak seperti yang itu.
Belum reda soal FPI, ketika ada reunian juga begitu hiruk pikuk, pro dan kontra, antara yang menilai tidak ada manfaat dan sebaliknya. Ramai luar biasa, yang sejatinya tidak produktif. Apalagi ketika Anies Baswedan datang dan memberikan sambutan. Lagi-lagi riuh Anies layak dipecat, melanggar ini dan itu pecat saja.
Politik itu Kalkulasi, Bukan Emosi
Jokowi sebagai presiden memiliki kalkulasi politik mumpuni. Berkali ulang ia berada pada posisi yang sulit ketika menghadapi persoalan hukum dan politik. Paling fenomenal jelas mengenai Setya Novanto. Bagaimana tidak pada posisi panas membara banyak orang yakin Setnov akan terjungkal karena perbuatannya.
Papa minta saham, hanya itu sebagai candaan untuk menetrlisir bagaimana seorang ketua dewan mengatakan presiden koppig, meminta fee untuk keuntungan sendiri lagi. Dan ternyata masih beberapa waktu kemudian ia akhirnya masuk juga bui. Tidak seketika, tidak langsung seperti maling ayam.
Orang kini pun meributkan masalah Anies dengan segala kelucuan, maaf kalau goblog terlalu kasar. Trotoar yang dibongkar pasang, dan malah dinasehati pengemudi ojeg yang tahu dengan baik setiap waktu di jalanan. Apakah Anies bodoh dengan tindakannya? Tidak, ia berhitung.
Anies cermat berhitung, mana yang bisa dikapitalisasi menjadi sebuah kekuatan mana yang berpotensi menjadi masalah. TGUPP dengan rekam jejak panjang bukan hanya boneka, mereka meranccang itu semua, bahkan demi 2024. Apakah tidak bisa diselesaikan atau penegakan hukum? Sangat mungkin, sangat terbuka, namun ingat ini bukan semata soal hukum, ini soal politik.
Mengapa ia selalu menempel pada aksi FPI dan kawan-kawan? Jelas itu kekuatan yang ia miliki. Partai politik jangan harap, posisi Anies yang tidak memiliki parpol itu sastu sisi menguntungkan. Sebaliknya pada kondisi terjepit jangan harap ada bantuan. Ugal-ugalan anggaran yang dilakukan itu tentu penuh perhitungan matang. Ia bisa "membeli" bannyak hal dengan itu, paling tidak, William tentu akan jerih dan tahu kenyataan yang tidak mudah.
Pun soal FPI dan tidak berbeda dengan HTI. Mengapa tidak ada tindakan hukum yang begitu cepat, tegas, dan seperti harapan banyak pihak? Â Jadi ingat kemarin ada seorang rekan di media sosial mengatakan bubarkan FPI, HTI, dan penjarakan AB, negara aman. Bener sesederhana itu?
Tentu tidak. Jauh lebih mengerikan dampaknya. Secara tidak langsung, kini pun ada aksi yang sejatinya orang atau kelompok itu lagi itu lagi, membenturkan ulama NU dengan berbagai tudingan dan tuduhan yang kadang berlebihan, irrasional, dan maaf bloon. Mengapa itu terjadi, ya karena memang kemampuan para pelaku hanya itu. Ahok dengan ucapannya sempat sukses. Dan itu dijadikan model demikian saja. Apalagi ketika si imam besar pun menyerukan demo berjilid-jilid lagi. Apa artinya? Bahwa itu ada jalan satu-satunya untuk mendapatkan kekuasaan.