Miris membaca pemberitaan penggusuran Sunter Agung, sejatinya hal yang normal, wajar, dan lumrah ketika adanya penggusuran dengan berbagai dalih. Toh dalam beberapa waktu terakhir, sering ganti rugi yang demikian gencar jargon itu di masa lampau, kini menjadi ganti untung.
Penggusuran dalam konteks yang sangat luas, bisa terjadi karena demi akses dan kepentingan umum, mau tidak mau ada yang perlu  berkorban untuk pindah. Contoh perluasan kawasan dan perkantoran misalnya. Atau jalan yang perlu dilebarkan dengan memangkas rumah. Â
Biasanya yang demikian tidak akan ada reaksi berlebihan karena melibatkan hal-hal yang resmi, bisa berdialog, dan surat menyurat baik-baik saja.
Jauh lebih heboh adalah ketika ada sekelompok pihak menempati bertahun-tahun, beranak pinak, dan lahan milik umum, daerah-negara, atau kadang milik pribadi yang awalnya nembung baik-baik saja, menumpang, dan menggunakan sepanjang tidak dipakai.Â
Nah ketika sudah berganti keturunan, pengguna, dan pemilik bisa kalang kabut.
Lha tangsi saja bisa berabe, ketika anak cucu tentara yang kadang sudah meninggal enggan pergi merasa berjasa pada negara. Ini salah kaprah dan ribet karena pembiaran. Identik dengan menghuni tanah milik pribadi yang duluuuunya baik-baik saja.
Paling ribet dan ribut yang hidup pada bantaran kali, bahu jalan, dan sejenisnya. Awalnya satu dua, kecil, hanya hunian sementara. Pembiaran dan sikap permisif menjadi penyebab masalah. Belum lagi jika masuk kepentingan politis.
Janji Politik dan Realisasi
Sangat mudah mengatakan ini dan itu, apalagi memanfaatkan fakta banyak warga yang jengkel adanya penggusuran. Mau diberi apapun, toh dijanjikan mobil mewah, hunian megah, kalau ada yang menjanjikan tidak akan menggusur orang tetap akan memilih yang tidak menggusur.
Mereka juga paham kog mereka itu ada pada posisi lemah. biasanya surat menyurat tidak ada, hunian mereka sejatinya mereka pahami sebagai tempat yang tidak semestinya, dan rawan untuk digusur, kembali pada posisi dan peruntukan semula.
Momen yang sangat menggiurkan warga panas, warah, dan meradang karena banyak hunian mereka terancam tergusur, dipakailah siasat tanpa penggusuran. Kalau tidak salah ingat dulu ada kata lain, geser, bangunan terapung, dan kenaifan lainnya.
Ketika janji politik itu menemui fakta lapangan, politikus mau apa? Ya lajulah, seturut UU dan peraturan yang berlaku, dilindungi UU, kan pemimpin semua warga, bukan hanya pemilihnya. Ini salah siapa?
Jelas salah yang percaya pada janji politik. Mengapa? Jelas mereka akan mudah mengingkari ketika berhadapan dengan pemilihnya sekalipun, jika itu akan menabrak UU dan peraturan yang ada.Â
Bagaimana mereka yang mendapatkan mandat berdasar UU akan menabrak UU bukan? Yang percaya janji politik utopis, adalah naif.
Pembelaan diri yang sangat mudah dan murah adalah, kami bekerja atas dasar UU, dan itu tidak pandnag bulu mau pemilih atau bukan pemilih. Kami pemimpin atas seluruh daerah. Dan itu sangat mungkin dilakukan, meskipun mereka dulu bertandatangan darah sekalipun.
Janji politik kan hanya pernyataan moral, sangat mungkin dikalahkan oleh sumpah jabatan yang bisa terkena dampak hukum, dan bisa terjerat dengan hukum pidana. Pelanggaran ranah yang berbeda.
Sejatinya pemilih dan kebetulan adalah para pelaku yang potensial kena gusur mereka paham, hanya sejenak menikmati sebuah oase, fatamorgana, dan bayangan yang kiranya bisa menjadi kenyataan.Â
Hanya sebuah tambahan nafas sejenak, hanya menunggu waktu, dan berpikir, semoga saja. Dan ketika mereka juga menghadapi kenyataan, keterkejutan itu menjadi kemarahan.
Penggusuran itu keniscayaan, ketika pembangunan terjadi, karena apa? Program, perencanaan, dan pengembangan sangat mungkin mengubah peta area yang sudah ada.Â
Dan di sanalah kecerdasan, kebijaksanaan, dan kejelian menjadi penting. Hal ini sangat mungkin. Jadi ketika ada yang mengatakan tidak akan menggusur itu jelas lebay.
Belum lagi jika kota besar, pembangunan dan pembiaran berjalan seiring sejalan, yang terjadi adalah penguasaan lahan kosong menjadi-jadi. Paling murah meriah adalah bantaran kali dan bahu jalan.Â
Mau menngganti dengan narasi menggeser, kampung terapung, atau apalah namanya, toh sungai perlu dikembalikan pada wujud awalnya. Mau naturalisasi seperti pemain bola, atau yang normal dengan mengatakan  normalisasi. Ini bukan soal istilah, namun soal esensi.
Literasi menjadi penting, sehingga para pemilih itu benar-benar tahu, paham, dan bisa memegang mana janji yang sangat tidak mungkin, janji yang sangat susah dengan segala upaya baru bisa, dan mana yang realistis.Â
Jika pemilih cerdas dengan menimbang dan memilih demikian, sangat mungkin tidak akan terjadi pemilih merasa tertipu.
Mustahil perkembangan Jakarta dengan pembiaran puluhan tahun dan satu-satunya magnet ekonomi, pusat hiburan, pusat politik, pusat birokrasi, dan juga pusat  aneka mfia itu membangun tanpa menggusur. Jadi Anies menaati UU jika melanggar janji, ya mana bisa dilakukan penuntutan.
Warga yang kecewa sangat mungkin mengeluh, namun apakah mengubah keadaan? Jelas tidak, karena memang kemampuan pemilih bangsa ini masih perlu diperjuangkan untuk bisa cerdas, cerdik, dan memilih dengan kualitas bukan hanya uang atau janji surga dalam konteks asli ataupun kiasan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H