Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tips Aman Bermedsos, Belajar dari Kasus Wiranto dan Istri Prajurit, Empati Vs Emosi

13 Oktober 2019   06:58 Diperbarui: 13 Oktober 2019   07:20 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tip Aman BermedSos Belajar dari Kasus Wiranto dan Istri Prajurit, Empati Vs Emosi

Cukup  menarik apa yang terjadi dalam peristiwa penusukan Menkopolhukam Wiranto, ternyata masih ada ekses pilpres, plus aksi sekelompok fundamentalis yang menguak jati diri mereka. Prihatin untuk Pak Wir, para prajurit yang mengalami kondisi yang tidak nyaman, dan juga pelaku yang masih hitungan remaja akhir.

Apakah ini dukungan pada teroris? Jelas bukan ini soal kemanusiaan. Hanya karena terkelabuhi oleh virus dan pembawa virus itu minggat entah ke mana. Memangnya remaja akhir penusuk Wiranto  itu paham dengan baik misi yang dilakukan? Pasti tidak.

Pun anak-anak prajurit yang harus menanggung beban mentalbapaknya kena sel dua minggu, ibu mereka harus bolak-balik urusan dengan polisi dan kedepannya sangat mungkin masuk bui juga. Hanya karena jari mengantar ke bui. Miris.

Narasi terbaru yang berkembang, KSAD melakukan tindakan kelewat batas dengan mempermalukan anak buah. Para istri pelaku hanya mengungkapkan kekecewaan, bukan menyebut siapa itu, dan sejenis. 

Layak menjadi titik masuk bahwa orang-orang yang senada itu kemungkinannya adalah kelompok yang sama, afiliasi dari gerakan yang senada. Apakah mau bebersih, atau hanya shock terapi itu menjadi penting.

Jarimu Mengantar ke Bui

Kecenderungan orang sekarang, berpikir ketenaran, kecepatan, viral, dan mendapatkan kebanggaan jika berani berbeda, kritis, dan lugas. Apakah demikian? Hati-hati. Mengapa?

Pertama,  ulah ini sejatinya karena adanya elit yang berbicara asal-asalan, lihat saja Fadli Zon, Fahri, TZ, UAS, dan masih banyak lagi yang memiliki pengikut dan penganut yang demikian masif. Dan mereka lolos dari jejak hukum karena alasan politis tentunya. Nah ketika orang biasa, merasa akan baik-baik saja ya masuk bui.

Jadi  jika bukan siapa-siapa, jangan berpikir viral dan malah menjadi pusing karena akan bermuara pada penindakan hukum. Lihat saja istri kolonel karena masih banyak jenderal di atasnya ya kena. Apalagi jika hanya bukan siapa-siapa

Kedua, cek dan ricek selalu. Jangan sampai malu apalagi melanggar hukum karena perbuatan sepele menghancurkan masa depan. Lihat ada tidak pemberitaan dari media arus utama. Jangan hanya berasal dari media sosial apalagi media percakapan. Dua sumber terakhir itu sangat bebas, kadang berita basi ditayang ulangkan. Bisa berabe.

Ketiga, jika memang gatal mau mengomentari, baik diskusi dulu dengan orang atau teman dumay yang sekiranya bisa memberikan pencerahan atau bahkan mungkin dukungan atau bantahan. Jika demikian, emosi sudah terkendali dan yang keluar itu netral, normatif, dan bisa sangat aman.

Keempat, sebenarnya bukan soal penusukan Pak Wir saja, hampir semua kejadian di Indonesia selalu saja dua sudut pandang. Bencana alam satu katanya azab, Jokowi salah, atau bencana betulan. 

Nah ini sama juga bom saja ada yang membela kog, ingat PKS dan Fadli Zon soal bom Surabaya. Tidak empati, jangan juga emosi. Jaga itu, jika memang tidak suka diam saja, dari pada ribet.

Kelima, membangun sikap berbeda itu bukan musuh. Memang tidak mudah, karena perpolitikan bangsa ini sudah rusak. Kemarin ada rekan media sosial melihat masa usai pilpres sering berseberangan dan ia menganggap sia-sia berseteru usai Prab ke istana.  Saya tidak berseteru, hanya berdiri berbeda. Nah sikap ini sering menjadi bumerang.

Jika melihat berbeda itu bukan musuh, ada kejadian apapun kemanusiaan yang akan muncul, bukan kutuk, azab, atau doa buruk, namun prihatin, empati, dan doa positif yang ada. Ini perlu terus menerus menjadi kesadaran.

Keenam, sikap kritis itu tidak berdasarkan emosional, justru rasional. Jika emosional bukan lagi kritis, namun jatuh pada kebencian dan luapakan kemarahan, dan itu mengurangi nilai kritis dan malah berabe yang diperoleh.

Sekali lagi, jangan ikut-ikut elit yang akan mudah bersilat lidah dan memiliki jaringan yang kuat. Benar bisa salah, salah bisa benar.

Ketujuh, perhatian bagi yang masih memiliki  atasan, baik ASN, militer, polisi, ataupun pihak swasta. Apa yang dianggap baik dan benar itu belum tentu demikian dengan pihak atasan. Bisa berabe jika sudut pandang berbeda. Berbuat dan membantah seperti apapun akan kalah kalau atasan memiliki afiliasi yang berbeda.

Kedelapan, lihat situasi dan kondisi. Nah ini orang sering salah memasuki ranah sikon yang pas ini. kemarin baru viral soal jam 200 tahun yang dianggap murahan toko jam, dianggap cukup baik bagi toko antik, dan sangat berharga bagi museum. 

Di sini peran melihat situasi dan arah angin itu penting. Bagaimana tidak, ketika konsentrasi bangsa sedang mau membersihkan anasir fundamentalis eh malah memberikan oksigen pada afiliasi itu.

Sering karena salah pergaulan, akhirnya jam klasik itu dijual pada toko jam biasa, ya murah karena tidak kekinian dan tidak akan ada peminat. Masa menjual perlengkapan naik gunung di pulau yang tidak ada gunungnya.

Empati atau Emosi

Ini sebenarnya adalah soal hati, nurani, dan tabiat. Kecenderungan melihat yang beda adalah musuh, membuat kemanusiaan akan sirna. Bagaimana kini ciri-ciri khas  cara beragama ikut menjadi masalah, belum tentu juga demikian padahal. 

Tidak simpati jangan emosi, jangan mengatakan itu munafik atau apa? Lha memang kalau menanggung risiko orang yang melabeli munafik itu ikut menanggung beban, penjara misalnya?

Emosi sih boleh-boleh saja, asal proporsional, tepat penggunaannya, dan tidak usah mengaitkan kemanusiaan dengan hal-hal yang bukan seharusnya, keahliannya, dan juga proporsinya. Seperti melibatkan agama, Tuhan, dan politik dalam banyak kejadian. 

Contoh, kebakaran katanya kurang amal, pilihan politik, dan sejenisnya. Sama sekali bukan, ya karena teledor misalnya, itu contoh jangan malah dibahas dengan ngotot pula.

Kritis itu baik dan penting, namun jangan malah menjadi bumerang bagi diri apalagi keluarga. Kalau mau kritis dan sampai "berani mati" itu pilihlah hidup melajang, ha,..ha... ha...banyak yang ngamuk dan ngambeg.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun