Tip Aman BermedSos Belajar dari Kasus Wiranto dan Istri Prajurit, Empati Vs Emosi
Cukup  menarik apa yang terjadi dalam peristiwa penusukan Menkopolhukam Wiranto, ternyata masih ada ekses pilpres, plus aksi sekelompok fundamentalis yang menguak jati diri mereka. Prihatin untuk Pak Wir, para prajurit yang mengalami kondisi yang tidak nyaman, dan juga pelaku yang masih hitungan remaja akhir.
Apakah ini dukungan pada teroris? Jelas bukan ini soal kemanusiaan. Hanya karena terkelabuhi oleh virus dan pembawa virus itu minggat entah ke mana. Memangnya remaja akhir penusuk Wiranto  itu paham dengan baik misi yang dilakukan? Pasti tidak.
Pun anak-anak prajurit yang harus menanggung beban mentalbapaknya kena sel dua minggu, ibu mereka harus bolak-balik urusan dengan polisi dan kedepannya sangat mungkin masuk bui juga. Hanya karena jari mengantar ke bui. Miris.
Narasi terbaru yang berkembang, KSAD melakukan tindakan kelewat batas dengan mempermalukan anak buah. Para istri pelaku hanya mengungkapkan kekecewaan, bukan menyebut siapa itu, dan sejenis.Â
Layak menjadi titik masuk bahwa orang-orang yang senada itu kemungkinannya adalah kelompok yang sama, afiliasi dari gerakan yang senada. Apakah mau bebersih, atau hanya shock terapi itu menjadi penting.
Jarimu Mengantar ke Bui
Kecenderungan orang sekarang, berpikir ketenaran, kecepatan, viral, dan mendapatkan kebanggaan jika berani berbeda, kritis, dan lugas. Apakah demikian? Hati-hati. Mengapa?
Pertama, Â ulah ini sejatinya karena adanya elit yang berbicara asal-asalan, lihat saja Fadli Zon, Fahri, TZ, UAS, dan masih banyak lagi yang memiliki pengikut dan penganut yang demikian masif. Dan mereka lolos dari jejak hukum karena alasan politis tentunya. Nah ketika orang biasa, merasa akan baik-baik saja ya masuk bui.
Jadi  jika bukan siapa-siapa, jangan berpikir viral dan malah menjadi pusing karena akan bermuara pada penindakan hukum. Lihat saja istri kolonel karena masih banyak jenderal di atasnya ya kena. Apalagi jika hanya bukan siapa-siapa
Kedua, cek dan ricek selalu. Jangan sampai malu apalagi melanggar hukum karena perbuatan sepele menghancurkan masa depan. Lihat ada tidak pemberitaan dari media arus utama. Jangan hanya berasal dari media sosial apalagi media percakapan. Dua sumber terakhir itu sangat bebas, kadang berita basi ditayang ulangkan. Bisa berabe.