OTTBupati Kudus tidak mengagetkan. Saat pemilihan serempak 2018 lampau, ada K-ners yang mengatakan jika politik uang di kota itu luar biasa. Bisa dua kali lipat yang dilakukan kandidat lain. apalagi rekam jejaknya pun masuk bui karena korupsi.
Ketika dinyatakan menang, langsung terpikir mampu berapa lama bertahan, dan benar, tidak sampai dua tahun tabiat lama terulang. OTT lagi, dan satu lagi bukti penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera belum ada.
Kisah yang sebenarnya sama, sebangun, dan identik juga terjadi. Bagaimana Setya Novanto jalan-jalan dengan leluasa, lapas yang bisa dipermainkan para pelaku dan napi dengan berbagai kasus, namun ujung-ujungnya adalah uang. Hukuman, yang diperhalus dengan pembinaan itu masih sebatas istilah bagi para pemilik uang.
Hukuman memang bukan balas dendam, jadi bukan hukuman yang tidak mengenal perikemanusiaan, hukuman yang abai akan sikap keadilan, dan tentunya proses panjang keadilan dan penegakan hukum yang obyektif dan berimbang.
Mengapa seolah pelaku korupsi bisa demikian merajalela?
Masih banyaknya pembelaan dan belum menjadi musuh bersama. Hal yang seolah memberikan oksigen tambahan, bagi para pelaku korupsi yang dihukum. Pembelaan baik langsung ataupun tidak langsung. Bahasa yang digunakan indah, bahkan dengan label agama juga. Pelemahan KPK termasuk dalam hal ini.
Polemik ketika menjelang pemilu, dengan mencoret caleg yang pernah terlibat korupsi menandakan bahwa pembelaan terhadap mereka masih demikian kuat.Â
Sok bijak dengan mengatakan kan hukuman sama juga dengan kembali putih. Â Sejagtinya tidak sepenuhnya demikian, karena ini tabiat, Â potensi pengulangan yang demikian besar, dan terbukti, efek jera itu lemah.
Musuh bersama sebagai senjata andalan untuk membuat mereka malu dan tidak lagi punya tempat. Jika demikian, orang tidak akan punya lagi muka apalagi senyam-senyum ketika tertangkap dan disidang karena korupsi, alias maling. Mereka masih punya nyali karena dibela banyak pihak.
Tarik menarik kepentingan dan saling memegang rahasia. Hal ini bukan rahasia umum lagi, ketika satu dua elit tertangkap korupsi mereka akan memberikan kesaksian ringan, karena mereka juga masuk dalam lingkaran itu, atau paling tidak, jaga-jaga sekiranya ketangkap, akan ada "penolong". Kong kalikong, tahu sama tahu menjadi sebentuk lingkaran setan korupsi.
Sikap mendua termasuk pembuat UU karena kehendak baik yang rendah. Mereka takut jerat tiang gantungan bagi mereka sendiri.Â
Fokus mereka hanya keamanan dan kekayaan diri, soal bangsa dan rakyat mana menjadi perhatian. Miris jika berpikir demikian. Mereka memikirkan kemungkinan mereka terkena hukum berat yang mereka rancang.
Jika pemikiran demikian, jauh sebelum maling mereka sudah pengin maling, dan jangan sampai mereka terkena hukuman yang berat. Jauh lebih jahat dari sekadar maling sejatinya. Mereka lebih maling dari maling.
Efek jera sebagai salah satu tujuan pemidanaan ternyata omong kosong. Hal ini juga menggugurkan argumen bahwa sudah dihukum berarti kembali bersih dan haknya dipulihkan.
Setuju bahwa hukuman pulih namun konteks tertentu dan kondisi tertentu. Praduga tak bersalah perlu disingkirkan bagi kejahatan luar biasa, karena dengan asumsi ini orang sering menggunakan kesempatan dan berdalih bagi kejahatan beru mereka.Â
Narkoba, terorisme, dan korupsi jauhkan dari terminologi ini. pembuktian mereka jauh lebih berat karena kejahatan mereka juga tidak ringan.
Hukuman yang dijadikan pedoman ternyata belum memberikan jaminan, ini bukan hanya satu dua kali, namun sudah berkali ulang, dan dalih, serta pembelaan diri yang selalu sama, kami tidak melakukan itu, sumpah tidak ada itu, itu hanya kesalahpahaman, model sikap tidak mau bertanggung jawab saja.
Melihat fakta demikian, apa yang seharusnya dilakukan.
Hukuman maksimal karena berulang, tambah dengan hukuman tambahan. Pencabutan hak memilih dan dipilih, tanpa tebang pilih jika melakukan korupsi sebagai pejabat daerah atau pusat. Mengapa? Karena pnyakit ini menular dan candu.Â
Susah bisa diyakini berubah. Mengaku saja, dari sekian ratus maling tipe ini berapa yang jujur mengaku bersalah, hanya SSK Migas, pejabat hubungan laut, dan tidak banyak yang mengatakan itu sebagai kesalahan yang mereka lakukan.
Bagaimana jika bertanggung jawab saja mereka enggan, kog bisa dikatakan bahwa pidana sebagai sarana memulihkan keadaan. Dalam kasus khusus hal ini tidak berlaku, dan nyatanya memang demikian.
Termasuk dalam hal ini adalah pelancong status napi. Berkali ulang napi maling elit ini bisa membeli hukum dan perangkatnya. Hilang sudah hak-haknya dipulihkan dengan segera sebelum membuktikannya. Pembuktian bukan hanya administratif namun dalam hidup bermasyarakat.
Pemiskinan. Pelanggaran HAM dari mana ketika mereka juga maling itu melanggar HAM pula, jangan dibalik-balik ketika mereka melanggar diam saja namun minta haknya penuh.Â
 menjadi penting sehingga mereka tidak lagi menjadi maling kedua kalinya. Menyuap perangkat penegak hukum, membeli suara, dan sejenisnya.
Selalu saja ulah para  pembela maling ini sama saja. Praduga tak bersalah, HAM, pidana memulihkan status, bukan balas dendam, tapi ujung-ujungnya, maling lagi maling lagi.  Ini adalah konsekuensi logis atas perilaku tamak dan jahat.  Yang pernah dirugikan juga sangat besar.
Patut dipikirkan untuk membuat efek jera dengan hukuman sosial, kerja paksa, membersihkan jalan, dan lagi-lagi jangan mengatakan HAM, atau balas dendam. Toh lihat Nazarudin, Setnov, dan banyak lagi, mereka bisa menguasai semua hal dengan uang mereka, pertanggungjawaban nol besar.
Berkaitan dengan pilkada, tanpa ampun yang pernah menjadi pesakitan KPK berapapun lamanya tidak perlu ada kesempatan lagi. Rekam jejak sudah membuktikan berat mereka bisa dipercaya lagi, apalagi penyakit yang satu ini sangat parah dan mudah tergiur.
Saatnya bebenah, dan berubah itu sakit. Perlu keberanian dan kehendak baik untuk kemajuan negeri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H