Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Konsistensi dari Amien Rais

9 Juli 2019   18:29 Diperbarui: 9 Juli 2019   18:48 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini sedang panas atau demamlah dengan pernyataan rabun ayam. Sebenarnya ini tidak patut dilakukan sesepuh yang menyinggung penderitaan atau kelainan orang yang tentunya tidak menghendakinya. Mana ada sih orang yang mau rabun atau lainnya. Untung  yang biasa menggorang pernyataan sekubu, jadi aman.

Rabun ayam itu keterbatasan pandangan kala senja hari, seperti ayam yang tidak bisa lagi melihat dengan baik jika sudah masuk waktu petang. Nah simbol ini yang dipakai Amien untuk memperingatkan PAN agar tidak bergabung dengan pemerintahan. Apa iya seperti itu, apa sudah lupa baru saja mereka melepaskan jabatan menteri di kabinet Jokowi.

Era pra-98 yang menjadi keprihatinan adalah maraknya anak-anak dan kerabat Pak Harto dalam kehidupan berbangsa. Apalaagi berbicara politik dan proyeknya. Jangan harap dulu masukk menjadi karyawan saja untuk BUMN, Polri dan TNI, apalagi jabatan menteri dan anggota dewan. Apa yang  sasaran demo '98 dan reformasi adalah KKN.

Namun apa yang dilakukan Amien kini? Bagi saya, mau jadi anggota dewan, pejabat meskipun bapaknya atau ibunya juga pejabat tidak masalah, asal berkompeten. Asal bukan anak pastor atau suster saja yang ikut menjadi pastor atau suster. Sepanjang memang mampu mengapa tidak? Namun ingat, ketika mampu dibidang lain, mengapa memaksakan menjadi politikus dan malah sering kacau.

Ini yang menjadi masalah. profesional di bidang yang lain, jauh lebih mentereng, lebih keren, dan hasil perjuangan sendiri, malah melompat ke politik, dan selama ini juga tidak menunjukkan prestasi luar biasa. Kalah dengan kader-kader lain. Bukti pertama soal nepotisme, yang dulu menjadi alasan menggantikan rezim Soeharto.

Korupsi, lagi-lagi adalah penyakit yang mau disembuhkan oleh angkatan 98, namun malah menyangkut juga pada dirinya. Isu bontotan 600 juta yang demikian hingar bingar, kini riuh rendah lagi ada indikasi digunakan untuk membangun kawasan khusus untuk satu keluarga. Mungkin mau dikenal seperti Cendana, Cikeas, Hambalang, dengan kepemilikan keluarga besar. Namun dengan latar belakang seorang akademisi, bukan pengusaha, malah menjadi sebentuk tanya, dari mana asal-usul kepemilikannya.

Nepotisme, bagaimana juga terlihat dengan keberadaan PAN dan besannya, apakah kebetulan, atau memang pernikahan politik. Semua sangat mungkin terjadi. dan juga kecenderungan kolutif sangat terbuka di dalam menyelesaikan persoalan. Susah melepaskan keberadaan kekerabatan dan perkronian dalam keadaan demikian.

Peristiwa Ratna Sarumpaet juga memperlihatkan bagaimana pola pendekatan politikus gaek ini. menggebu-gebu menyatakan orang tua digebugi bla...bla..bla...ketika dipanggil polisi dan disajikan nasi gudeg gantian memuji-muji polisi setinggi langit. Padahal sebelumnya menuding polisi begini dan begitu.

Kisah people power, juga memperlihatkan bagaimana model  berpolitik si tua satu ini. Yang awalnya getol menyatakan pp adalah cara mendapatkan kemenangan. Ketika satu demi satu kena usut pidana berubah menjadi pp tipis-tipis.

Mengenai rabun ini pun setali tiga uang, nanti ketika partai memilih untuk bergabung dengan pemerintah entah memperoleh jabatan apa, akan juga mengatakan dukungan dengan caranya yang khas. Tidak akan mengakui, namun tetap saja tutup mata tutup telinga atas fakta.

Benar bahwa politik itu kepentingan yang sama, kekuasaan menjadi tujuan, namun tentu ada yang namanya etika, namanya konsistensi di dalam memperjuangan kekuasaan, bukan asal   mendapatkan kekuasaan bahkan dengan menikam rekan sendiri dan memilih rival yang pernah dicela mati-matian.

Pembelajaran itu tidak mesti hal yang bagus. Hal buruk pun bisa sebagai acuan untuk tidak dilakukan. Tengok bagaimana orang tua mengajarkan kepada anak, jangan tiru itu si malas, biar nanti gede tidak jadi pengemis. Memang pelajaran negatif tidak efektif, namun itu juga adalah cerminan politikus yang penting bagi politikus muda untuk membangun jati diri.

Kekurangan, ketidakbaikan, kelemahan dalam berprinsip baik dilihat sebagai bagian utuh berpolitik anak bangsa ini. apalagi kaliber Amien Rais yang memiliki pendengar, pengagum, dan jelas pengikut luar biasa banyak,  perlu diperlihatkan pola-pola aksinya yang tidak patut menjadi contoh dan patrun di dalam berpolitik.

AR sebagai politikus memang ulet, tulen, dan jempolan, namun sayang jauh dari kesan politikus sukses dan cerdas, malah lebih cenderung menampilkan kegagalan berpolitik sehingga malah di masa tuanya menjadi bahan cemoohan.

Padahal kurangnya apa ia menjadi salah satu pionir tumbangnya Soeharto, menjadi ketua MPR, mengantar alam demokrasi yang sejati. Terlibat penuh sebagai salah satu  pilar lahirnya demokrasi modern, hanya satu karena kurang nrima, karena tidak jadi presiden. lihat Akbar Tandjung, ia puas dengan posisinya, tahu diri dan menerima itu sebagai bagian dari rencana Tuhan, jika bicara ranah spritualitas. Ia tidak menebarkan sakit hati ke mana-mana. Ia duduk diam di masa tuanya.

Akbar sama saja jika mau berlaku seperti Amien, sangat mungkin. Atau Wiranto juga, toh mereka bersikap legawa, itu bukan garis tangannya untuk menjadi presiden. Dengan demikian masa tua dihadapi dengan suka cita dan ringan.

Kasihan sebenarnya melihat orang tua, eh di masa tuanya malah jadi bahan olok-olokan generasi muda. Maa di mana harusnya melihat bangsa dan negara yang melaju mengejar ketertinggalan dengan senyum bahagia malah dipenuhi perasaan jengkel, tidak terima, dan masgul. Miris.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun