Hari-hari ini sedang panas atau demamlah dengan pernyataan rabun ayam. Sebenarnya ini tidak patut dilakukan sesepuh yang menyinggung penderitaan atau kelainan orang yang tentunya tidak menghendakinya. Mana ada sih orang yang mau rabun atau lainnya. Untung  yang biasa menggorang pernyataan sekubu, jadi aman.
Rabun ayam itu keterbatasan pandangan kala senja hari, seperti ayam yang tidak bisa lagi melihat dengan baik jika sudah masuk waktu petang. Nah simbol ini yang dipakai Amien untuk memperingatkan PAN agar tidak bergabung dengan pemerintahan. Apa iya seperti itu, apa sudah lupa baru saja mereka melepaskan jabatan menteri di kabinet Jokowi.
Era pra-98 yang menjadi keprihatinan adalah maraknya anak-anak dan kerabat Pak Harto dalam kehidupan berbangsa. Apalaagi berbicara politik dan proyeknya. Jangan harap dulu masukk menjadi karyawan saja untuk BUMN, Polri dan TNI, apalagi jabatan menteri dan anggota dewan. Apa yang  sasaran demo '98 dan reformasi adalah KKN.
Namun apa yang dilakukan Amien kini? Bagi saya, mau jadi anggota dewan, pejabat meskipun bapaknya atau ibunya juga pejabat tidak masalah, asal berkompeten. Asal bukan anak pastor atau suster saja yang ikut menjadi pastor atau suster. Sepanjang memang mampu mengapa tidak? Namun ingat, ketika mampu dibidang lain, mengapa memaksakan menjadi politikus dan malah sering kacau.
Ini yang menjadi masalah. profesional di bidang yang lain, jauh lebih mentereng, lebih keren, dan hasil perjuangan sendiri, malah melompat ke politik, dan selama ini juga tidak menunjukkan prestasi luar biasa. Kalah dengan kader-kader lain. Bukti pertama soal nepotisme, yang dulu menjadi alasan menggantikan rezim Soeharto.
Korupsi, lagi-lagi adalah penyakit yang mau disembuhkan oleh angkatan 98, namun malah menyangkut juga pada dirinya. Isu bontotan 600 juta yang demikian hingar bingar, kini riuh rendah lagi ada indikasi digunakan untuk membangun kawasan khusus untuk satu keluarga. Mungkin mau dikenal seperti Cendana, Cikeas, Hambalang, dengan kepemilikan keluarga besar. Namun dengan latar belakang seorang akademisi, bukan pengusaha, malah menjadi sebentuk tanya, dari mana asal-usul kepemilikannya.
Nepotisme, bagaimana juga terlihat dengan keberadaan PAN dan besannya, apakah kebetulan, atau memang pernikahan politik. Semua sangat mungkin terjadi. dan juga kecenderungan kolutif sangat terbuka di dalam menyelesaikan persoalan. Susah melepaskan keberadaan kekerabatan dan perkronian dalam keadaan demikian.
Peristiwa Ratna Sarumpaet juga memperlihatkan bagaimana pola pendekatan politikus gaek ini. menggebu-gebu menyatakan orang tua digebugi bla...bla..bla...ketika dipanggil polisi dan disajikan nasi gudeg gantian memuji-muji polisi setinggi langit. Padahal sebelumnya menuding polisi begini dan begitu.
Kisah people power, juga memperlihatkan bagaimana model  berpolitik si tua satu ini. Yang awalnya getol menyatakan pp adalah cara mendapatkan kemenangan. Ketika satu demi satu kena usut pidana berubah menjadi pp tipis-tipis.
Mengenai rabun ini pun setali tiga uang, nanti ketika partai memilih untuk bergabung dengan pemerintah entah memperoleh jabatan apa, akan juga mengatakan dukungan dengan caranya yang khas. Tidak akan mengakui, namun tetap saja tutup mata tutup telinga atas fakta.
Benar bahwa politik itu kepentingan yang sama, kekuasaan menjadi tujuan, namun tentu ada yang namanya etika, namanya konsistensi di dalam memperjuangan kekuasaan, bukan asal  mendapatkan kekuasaan bahkan dengan menikam rekan sendiri dan memilih rival yang pernah dicela mati-matian.