Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Capres Meracau, Cemar Penting Tenar

9 April 2019   08:25 Diperbarui: 9 April 2019   08:37 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Prabawo Meracau, Cemar Penting Tenar

Cukup menarik kurang dari sepuluh hari pemilihan presiden, salah satu calon presiden berbicara meracau tidak karu-karuan. Ingat ini soal politik, jadi semua tentu bernuansa politis, di mana apapun dilakukan demi mendapatkan suara dan pemilih.

Upaya itu bisa dengan cara baik dan positif, seperti menjelaskan visi misi bagi pemilih secara gamblang, baik, dan menarik. Apa yang menjadi kesulitan rakyat menjadi prioritas bagi pasangan kontestan di dalam membuat program. Pemilih dan rakyat secara umum itu menjadi bagian utuh dan utama.

Cara lain yang positif bisa dilakukan dengan mengatakan prestasi diri sendiri dan partainya di dalam membangun bangsa dan negara, apapun kondisi yang pernah dijalani. Setiap orang toh memiliki prestasi, jangan pesimis, dan merasa tidak memiliki prestasi. Tidak ada.

Jalan positif tentu cara yang terbaik, atau bisa juga biasa saja dengan mengadakan kritik bagi pasangan lain, dengan cara yang benar, obyektif, dan tentunya berdasar dengan kajian, data, dan sebisa mungkin ada solusi. Ini jelas baik juga.

Paling mudah, murah, namun meriah tentu dengan kamppanye negatif, menjelek-jelekan kegagalan lawan dengan masif. Ini mudah karena selain orang itu berprestasi, tentu juga pernah mengalami kegagalan. Dan di sanalah fokus untuk menjegal dan menjatuhkan lawan itu dilakukan.

Paling parah jelas kampanye hitam. Hoax, fitnah, dan segala cara buruk yang penting menang dan rival terjengkang dilakukan. Film sangat lawas, almarhum Ateng yang main dengan judul Ibu Tiri  Tidak Sekejam Ibukota, menjadi contoh model aksi kampanye hitam ini. tim kesebelasan mereka akan dapat dipastikan kalah, nah demi bisa menang mereka menggunakan kayu untuk menghajar tulang kering lawan. Menang, soal lawan hancur atau menderita bukan menjadi pertimbangan.

Fitnah mengarah pribadi, pun berdasar data dan fakta sekalipun jika tidak hati-hati yang awalnya netral, bisa menjadi kampanye hitam jika berlebihan dan abai akan data karena penuh dengan kebencian dan asumsi pribadi. Ini menakutkan.

Idealnya memang kampanye positif, harapan, janji realistis, dan rakyat, bangsa, dan negara menjadi pokok utama. Memang itu tidak mudah dan tidak akan populer. Perlu kerja cerdas dan sangat keras.

Beberapa kali salah satu capres mengatakan klaim, tudingan, dan berkata-kata yang jelas politis, memang bisa berindikasi meracau karena tekanan batin, sehingga berpengaruh pada kondisi kejiwaan dan kesehatan si calon. Namun apa iya demikian? Kan sudah ada test kesehatan yang cukup representatif dan jelas kredibilitasnya. Jadi anggapan kesehatan ini diandaikan baik dan fit.

Jika keadaan kesehatan bisa diabaikan, kini konsentrasinya pada politik untuk mendapatkan ketenaran. Secara baik di atas sudah dikatakan harus kerja keras dan cerdas, itu tidak mudah, kini apakah nekat? Sehingga cemar asal tenar menemukan point utamanya?

Kampanye di Yogyakarta dengan menyatakan kata bajingan.  Benar bahwa kata bajingan dalam konteks bahasa Jawa adalah pengemudi atau sopir gerobak, jadi tidak ada masalah dengan kata ini. Namun ketika konteksnya adalah dalam nada marah, menuding pihak lain sebagai pealku kejahatan, jelas konteks bajingan yang tidak bernilai baik atau buruk  itu menjadi berkonotasi buruk. Karena diikuti dengan kata memerkosa ibu pertiwi.

Berkaitan dengan kata bajingan itu capres juga mengatakan memerkosa ibu pertiwi. Coba ditelaah dengan kepala jernih, otak dan hati dingin, kapan dan benarkah itu kejadian kontekstual hari-hari ini, ataukah masa lalu, dan beliau yang teriak ada di sana?

Mengerikan pilihan kata memerkosa, yang sangat traumatis bagi banyak pihak berkaitan dengan rusuh 98 lampau. Kepedihan mendalam bagi beberapa kelompok, ribuan orang, dan itu saksi mata, saksi korban, dan jelas para pelaku masih segar bugar dan bisa dicari keberadaannya. Itu diungkit  oleh pihak yang disinyalir ada keterkaitan.

Kebocoran dana yang diulang-ulang, narasi usang namun hanya itu nampaknya yang dimiliki dan dikuasi. Separo fakta, bahwa ada potensi kehilangan 2000 T, eh diterjemahkan yang bocor 2000 T padahal anggaran belanja saja kisaran 2400-an. Mosok hanya 400 T saja yang aman dan dipakai untuk membangun. Artinya asal bicara alias meracau bukan?

Memarahi orang yang berbicara sendiri ketika si capres sedang berbicara. Berkali ulang, bukan sekali dua kali, berkali-kali. Ia maunya menjadi pusat, yang paling utama, didengar, dan tidak mau ada yang mengabaikannya. Hal yang hanya ada pada pribadi kanak-kanak dan gila kuasa.

Orang tidak akan bisa menyenangkan semua orang, apalagi sampai 25 juta itu. Nah ketika orang tidak realistis dan memaksa orang untuk bisa mendengarkan dia saja, maaf isinnya pun pengulangan tong kosong demikian, apa layak dipilih?

Pemimpin abai data dan tidak cek ricek. Apa yang terjadi adalah capres ini abai akan data. Apa yang ia nyatakan ABS, nampaknya ia idap sendiri. Sangat gampang kog seberapa besar kapasitas stadion, ia pribadi pun akan bisa memprediksikan kog jumlahnya, nah ketika mengatakan sejuta, dua puluh lima juta, jauh dari nalar dari pada ratusan ribu. Ingat seratus ribu sekian tidak bohong jika diklaim ratusan ribu.

Apa yang terjadi ini  menjadi pertimbangan masak dan serius, bagaimana pribadi capres ini.

Cemar tidak masalah asal tenar. Ingat esensi demokrasi dan pemilihan adalah suara terbanyak. Ketika hendak mencapai tenar itu bisa saja cemar, maa gabul tai asal bathi, bisa saja menjadi pilihan utama. Artinya yang  penting menang, entah caranya. Fasis tulen kalau begitu.

Pemimpin itu harusnya cek dan ricek, bukan membiarkan data masuk dengan begitu saja tanpa kebenaran yang bisa ia dapatkan secara lebih akurat. Kecenderungannya adalah keras kepala dalam arti negatif, menang sendiri, terlalu percaya diri, sehingga hanya mendengar kata diri dan orang yang paling dipercaya saja.

Susah melihat pemerintahan bisa berjalan baik, ketika model tidak mau mendengar model demikian, ingat ini replublik, bukan kerajaan. Berkacalah kerajaan-kerajaan itu jatuh karena kedegilan raja, adipati, dan pemimpin yang keras kepala, bisa dilihat dalam sejarah dan kalau mau yang populer bisa dinikmati dalam novel Arus Balik. 

Bagaimana pemerintahan mereka bisa hancur karena salah informasi, dan lebih mudah kalah serta dihancurkan karena pemimpinnya yang tidak terbuka pada realitas. Apa iya mau dikorbankan bangsa dan negaraa sebesar ini.

Tim pemenangannya pun kelihatan tidak berdaya, bagaimana mungkin bangsa ini diserahkan pada pribadi seperti itu. Timnya tidak berani memberikan masukan yang benar, apalagi menegur. Ini berbahaya. Siapa yang akan menegur, mosok harus Tuhan Allah Yang Mahakuasa?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun