Menjelang debat, dalam kampanye malah begitu banyaknya ujaran cenderung meracau capres satu ini. Umumnya dalam kampanye orang akan mengemukakan program kerjanya, ide, gagasan, visi dan misi, atau paling tidak ada apa yang buruk dari rivalnya, masih bisa diterima akal sehat.
Nah nampaknya hal ini perlu disadari BPN, apalagi kali ini capres sendirian, jadi tidak ada pasangan atau siapapun yang bisa mengendalikan sikap Prabowo yang bisa sangat mudah tersulut emosinya kalau terpantik pada point yang tidak ia sukai. Ini bisa berbahaya.
Debat tentunya berkisar pada point-point tematis, baik oleh panelis, rival, atau moderator sekalipun. Ketika mendapatkan pertanyaan, atau sanggahan yang membuat emosi, bisa saja terjadi hal yang tidak terduga. Pada debat pertama hal itu sampai dua kali dengan jogednya dan aksi pijit. Meredakan ketegangan dan emosional sangat mungkin.
Berbicara debat tentunya berbicara mengenai argumentasi apa yang hendak dicapai, ingat hendak berarti ke depannya, meyakinkan calon pemilih untuk melihat bahwa mereka patut dipercaya dengan ide, gagasan, program yang lebih baik dari pada kontestan lain. Ini jelas idealnya. Satu yang pasti ke depan, bukan soal masa lalu semata. Capaian bisa menjadi rujukan, bukan yang utama dan dominan.
Masa kampaye yang cenderung monolog, beberapa kali keluar pernyataan yang di luar konteks dan cenderung meracau ke mana-mana. Belum terdengar apa yang baru yang mau dilakukan.
Beberapa hal malah cenderung curhat, kekecewaan, namun bukan gagasan ke depan mau apa. patut dilihat sebagai berikut;
Lupa terima kasih. Berkaitan dengan kepala daerah yang dulu datang untuk meminta dukungan, dan setelah jadi dilupakan.  Wajar sih seseorang kecewa, namun sebagai seorang pemimpin menjadi lucu dan bahkan tidak  bermutu ketika berbicara demikian. Bagaimana pun seorang bapak itu tidak akan pernah berbicara jasa pada anak-anaknya.
Bagaimana ketika ia berpamrih, ia bisa juga berbicara pengabdian bagi bangsa dan negara ini. Miris ketika berbicara ungkapan terima kasih, sangat mungkin nantinya meminta juga balasan berlebihan dari negara ini, karena ia sudah mengelola negara.
Sudah terlalu banyak pejabat negeri ini berperilak tamak, jangan sampai ditambah lagi. Salah satu ciri peribadi tamak, ya mengungkit jasa ini. Suap dan  kolutif sangat terbuka jika model demikian, jadi perhatian untuk pemilih.
Ular kepala dua. Ujud kemarahan melihat realitas, namun bukan solusi yang ditawarkan. Ada dua yang dilihat oleh capres ini, yaitu elit pemerintah yang berkepala dua. Hal ini tentu saja berkaitan dengan relasi dan komunikasinya bersama yang ia klaim sebagai elit itu.
Sangat mungkin itu adalah deal-deal politik yang pernah dilakukan namun tidak sesuai dengan ekspektasinya. Lumrah lah namanya politik. Toh ia sendiri juga menjadi pelaku demikian. contoh jelas pada pemilihan DKI-2. Ia masih diam saja. Artinya, ya sama juga, pelaku dan korban.
Mengorbankan rakyat. Lha ini mau berbicara siapa sebenarnya? Ketika ia mengritik kubu lawan, apa yang sudah dan ia rencanakan? Bagaimana rekan koalisinya akan mengizinkan cantrang lagi, padahal itu jelas merugikan dalam jangka panjang. Apakah ini tidak lebih  parah?
Lebaran di TPS, entah apa yang ada di benaknya ketika meminta membawa opor, tikar, lonting ke TPS, mau lebaran di sana, apakah itu menjawab bahwa pemilu adalah pesta, atau malah memang ngelantur yang tidak ia sadari. Atau kah malah menciptakan kondisi kacau, chaos, karena nada-nada itu sudah mulai didengungkan.
Pemenang adalah Prabowo dan yang dilantik adalah yang lain. Padahal jelas susah melihat apapun, fakta, data, dan termasu survey yang bisa cukup meyakinkan pasangan ini menang. Coba satu saja nilai lebih yang cukup meyakinkan sudah dibantah bahwa mereka patut dipilih? Susah.
Dididik mencintai rakyat, elit menyengsarakan rakyat dan ditekankan untuk mencintai rakyat. Bingung juga melihat apa yang ia sampaikan. Selama ini ia berjarak, menjaga ruang antara sehingga ia tidak dekat kepada rakyat kog. Mengapa tiba-tiba merasa jadi pahlawan seperti ini?
Beberapa fakta ia berjarak dengan rakyat.
Mengenakan sarung tangan ketika bersalaman. Memang sangat mungkin luka, lecet, dan lain sebagainya, maka pakai kaos tangan untuk pelindung. Namun apa iya seekstrem itu sih? Toh Jokowi yang jauh lebih banyak pendukung dan kedekatan dengan rakyat bukan periode lima tahunan tidak perlu demikian.
Didikan sebagai kalangan atas, susah melihat ia dekat dengan rakyat, selain lagi-lagi periode lima tahunan. Susah melihat gaya hidup apalagi militer lagi bisa membaur begitu saja.
Beberapa kali marah ketika berbicara dan yang di hadapannya riuh rendah sendiri. Bukan hanya sekali dua kali, namun berkali ulang. Jika memang mencintai tidak akan marah jika ada sikap demikian.
Belum lagi jika berbicara ranah isu dan desas-desus, soal tunggakan gaji buruh, kekerasan pada 98. Atau faktual, soal kepemilikan lahan yang luar biasa dan sudah diakui sendiri itu. Jelas konfirmasi termasuk elit negeri ini, yang sangat mungkin itu adalah jatah rakyat juga.
Beberapa kali menghina keberadaan rakyat dari daerah atau profesi tertentu. Entah mau mencairkan suasana atau memang karakter merendahkan. Kalau mencairkan suasana mengapa harus merendahkan dan menghina? Apalagi kalau berkali ulang, kog lebih cenderung gaya atau tabiat.
Apa iya menyintai rakyat namun berjarak dengan rakyat yang sama.  Artinya hanya sebuah klaim dan  ungkapan basa-basi semata.
Debat kali ini berbicara mengenai ranah yang sangat ia kuasa, namun untuk lebih dari dua dasa warsa. Melihat apa yang ia sampaikan selama kampanye ini, kog jauh dari penguasaan materi yang terbaru. Isu-isu strategis bangsa dan dunia internasional terbaru yang perlu penanganan segera.
Susah juga melihat cara berkomunikasi massa demikian buruk, jika berdiplomasi dengan negara lain, di kancah dunia internasional. Mengapa, gaya merendahkan, emosional, dan grusa-grusu sangat tidak elok bagi pergaulan internasional.
Apa yang dilakukan dalam kampanye juga gambaran pemahamannya dalam segala persoalan yang ada di Indonesia dan dunia internasionnal. Â Sama sekali belum ada yang baru yang ia angkat selama kampanye. Katanya dulu akan membawa kejutan, toh malah terkejut sendiri dengan berbagai-bagai kelucuan, blunder, dan aksi lucu-lucuan di atas pentas debat.
Belum lagi belepotannya BPN dalam menangkis, klarifikasi, dan meluruskan maksud dari capres mereka. Ini jelas memperlihatkan kualitas dan kapasitasnya yang tidak cukup mumpuni menguasai tema.
Menampakkan sosok arogan yang merendahkan pihak lain, dalam hal ini Jokowi, di mana banyak persoalan sederhana namun tidak mampu dijawab dengan baik. Padahal ini debat untuk menjadi presiden, bukan sebuah acara belajar debat anak SMA. Apa yang ditampilkan selama kampanye belum mencerminkan kapasitas presiden.
Kehendak saja tidak cukup, tanpa dibarengi dengan upaya kuat dan cerdas. Blunder itu jelas karena tidak persiapan, tidak mau mendengar kata tim, dan merasa paling hebat. Jelas ini penyakit seorang pemimpin yang tidak seharusnya ada, apalagi malah dihidupi.
Debat nanti tidak akan jauh dari debat yang sudah-sudah, juga tidak akan berbeda dengan kampanye, terutama kampanye terbuka yang ada. Antara kurang persiapan dan enggan belajar. Melihat rekam jejaknya keduanya itu benar demikian.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H